Senin, 18 Maret 2019

CERPEN : BINTANG YANG DIHARAMKAN





 
ilustrasi



             Air mataku tumpah tanpa suara. Perih terasa menusuk rasa yang tersimpan di hati kecil. Tuhan mencipta tanah surga di timur sana, Suara burung cendrawasih masih terdengar di benak. Kilauan cahaya emas yang sejak dahulu hingga kini terus dicuri masih terasa segar terbayang di mata. Di jalanan berdebu mama-mama duduk menunggu sentuhan tuan berbudi yang sekedar datang menawar sebutir keringat yang di letakan diatas karung bekas.

              Dimana-mana darah mengalir tanpa belas kasihan membanjiri tanah pusaka manusia berkulit hitam dan berambut keriting. Kadang aku mencari keadilan bagi kami kepada Tuhan namun entah kenapa Tuhan seakan tak pernah melihat bahkan mendengar.

              Pernah suatu hari seorang gadis mungil datang dengan muka murung kepadaku.

                      “ kaka, kenapa kita pu bintang sampe hari ini masih belum bersinar ”, Ucapnya

                         padaku.

                      “ bintang yang mana ade cantik ”, balasku pada gadis mungil itu.

                      “ kaka jang pura-pura tratau su. Bintang yang terlihat muram di selembar kain 

                         Dekat dinding kamarnya kaka itu ”. Serunya, sambil menunjukan jemarinya

                         mengarah ke sebuah kain lusuh berbentuk persegi empat yang dihiasi gambar

                         yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sebuah kotak berwarna

                         merah dan ditengah kotak itu ada sebuah bintang sedangkan bagian keduanya

                         terdiri dari beberapa bentuk balok yang membetuk warna putih dan biru dan

                         balok itu berjumlah 12 sehingga bila dibagi dua maka masing-masing 6 berwarna \                        putih dan 6 berwarna biru.

                       “ Oh itu ya dik. Sio sa pu ade, ko tau…, kaka jua merasa sedih lihat kita pu bintang

                          Itu selalu berduka. Raut wajahnya yang menurutku sangat indah itu selalu murung.

                          Kata bapa tuh, tempo dulu deh pernah tersenyum sambil membiarkan tubuhnya di

                          sentuh hembusan angin tapi semenjak pemerintah Indonesia memburunya seperti

                          bintang de sekarang hanya menjadi buronan yang dilarang bahkan diharamkan

                          buat memperlihatkan de pu batang hidung ”. Tururku sambil membuang seluruh

                           nafas yang sengaja ku tahan karena tak kuat menggambar petaka yang

                           menimpanya.

               Gadis mungil itu sontak mengingatkan ku pada sosok bapa yang kini telah tiada. Bapa yang di tuduh sebagai separatis itu pun dibantai dengan sadis. Aku ingat betul kejadiannya walau saat itu aku masih kecil. Saat itu, bapa yang kebetulan pulang bersamaku dari hutan sehabis berburu di cegat oleh sepasukan orang berpakaian loreng. Orang-orang itu tanpa mengatakan apapun lansung menembak bapa di depan mataku. Peluru Senjata laras pendek itu lansung bersarang di dadanya. Warna merah darah yang muncrat keluar dari lubang yang terbetuk akibat peluru itu pun membanjiri jalan raya. Aspal yang hitam itu lansung berubah warna berganti menjadi merah.

             Melihat tubuh bapa yang jatuh diatas aspal seperti batang pohon yang ditebang itu membuat penglihatanku buram. Aku tidak ingat lagi selanjutnya.

             Perlahan-lahan ku buka mataku, Ku perhatikan sekelilingku. Bukankah yang terahir ku lihat adalah tubuh bapa yang bermandi darah di atas aspal, lalu kenapa sekarang aku bisa berada diatas tempat tidur. Apakah tadi itu hanyalah sebuah mimpi ataukah itu benar-benar terjadi.

              Secepatnya ku berdiri dan melangkahkan kakiku kearah ruang tamu. Sekitar belasan pemuda yang satu dusun denganku sedang duduk sambil ngopi. Ku tengok kearah luar rumah dan ternyata diluar sudah dalam keadaan gelap. Aku ternyata bangun pas tengah malam.

                    “ eniha, Ko su sadar  ”. itu adalah suara sahabatku Stef.

                     “ Mari ko datang duduk disini ”. Ucap andi yang juga adalah sahabatku.

                 Tanpa mengucapkan apapun aku kemudian duduk di dekat andi, lalu stef pun datang mendekat kearahku dan duduk pula disampingku. Boleh dibilang kami bertiga bersahabat, kadang main bersama. Hingga berkelahi sampai berdarah-darah namun mungkin pula itulah yang membuat persahabatan kami sangat erat.

                     “ sabar eee… eniha”. Ucap stef

                     “ tuh sudah kawan, ko harus kuat…!”. Sambung andi.

                  Dengan perlahan-lahan ku berdiri dan pergi kearah dapur. Ruangan dapur yang dibangun secara tradisional itu sangatlah luas ukurannya sehingga mampu menampung hampir dua puluhan orang lebih. Di dapur ternyata sudah sangat penuh dengan orang dan ditengah orang-orang yang duduk itu ternyata bapa terbaring kaku disana. Ternyata kejadian siang tadi bukanlah sebuah mimpi melainkan kenyataan pahit yang mungkin akan ku ingat terus hingga diriku dibaringkan di liang kubur.

                   Melihat kenyataan yang sesungguh sangat tidak ku harapkan itu memaksaku secara perlahan berbalik arah ke kamarku. Usai sampai di dalam kamarku, lalu ku duduk di atas pembaringan, kemudian secara samar-samar bayangan akan kejadian siang tadi kembali merasuki benakku. Aku tidak sampai mengira bahwa bapaku harus mati mengenaskan. Ku ingat jelas siapa yang membunuh bapa. Mereka yang membunuh bapa itu mengenakan pakaian loreng.

               Keesokan harinya bapa pun dikubur dan beberapa hari kemudian aku akhirnya tahu mengapa ketika malam itu aku mendapati diriku terbaring di kamar. Ternyata usai bapa ditembak, aku yang melihat kejadian itu lansung pingsan karena tak kuasa melihat kejadian itu dan untung pula ketika aku pingsan,ternyata ada sekitar sepuluh orang yang datang ke tempat kejadian. Salah satu dari mereka ternyata adalah bapak kepala distrik, sehingga aku pun dapat di amankan segera. Mungkin bila tak ada mereka maka aku pun pasti bernasip sama dengan bapa.

               Kurang lebih seperti itulah nasip malang yang datang menimpa keluargaku. Ku ingat semuanya dan takan pernah ku lupakan. Kemudian gadis mungil itu masih Nampak diam disampingku. Entah apa yang kini sedang di pikirkannya, aku tak bisa memastikannya. Mungkin pula gadis mungil itu lagi tenggelam dalam bayangan kepedihan yang dialami bintang di dinding itu.

                Entahlah, pokoknya kisah mengenai perjuangan saudara-saudaraku untuk membuat bintang itu tersenyum masih terasa hingga kini, bahkan tidak lama ini di Nduga sempat terjadi peristiwa adu senjata namun lucunya media-media nasional mengatakan bahwa adu senjata itu terjadi karena pihak KKB (kelompok criminal bersenjata) yang menyerang warga sipil yakni para pekerja jalan trans Papua yang kebetulan sedang bertugas di lokasi penembakan. Kenyataannya yang ditembaki itu bukan warga sipil melainkan TNI, Lalu yang dinyatakan meninggal itu pun sesungguhnya TNI dan berita tentang KKB yang menewaskan para pekerja itu pun di tayangkan ulang-ulang, di beritakan ulang-ulang, sedangkan pemboman di Nduga yang dilakukan oleh para aparat negara itu dibisukan. Yang lebih parahnya lagi adalah kenyataan tentang pengunsian masyarakat Nduga dihutan-hutan serta kematian dan penderitaannya tidak pernah dimuat.

                  kalau menyinggung soal ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah karena mempertahankan prinsipnya untuk menjaga kesatuan malah menciptakan ladang penderitaan bagi orang-orang kulit hitam di negeri yang dijarah oleh para kapitalis. Bukankah dengan kebijakan yang pemerintah lakukan itu sendiri sudah menunjukan perbedaan perlakuan. Semua memang sudah dibuat bisu sehingga suara kaum yang menderita memang tidak akan pernah menghasilkan apa-apa.

                   Ku lirik lagi gadis mungil itu. Dia menatapku dengan sebuah senyum yang sulit ku utarakan dalam bentuk kata. Senyum yang keluar dari hati perindu. Aku tahu bahwa dia merindu senyuman bintang itu. Aku pun tahu dia sangat berharap melihat bintang itu berkibar di tengah awan.

                   “ dik, entah kenapa aku merasa bahwa ada ketidakadilan dalam hidup ini? ”. dia

                      menatapku dengan dingin.

                   “ apakah Tuhan buta atau tuli? ”. dia makin terlihat bingun.

                   “ jangan tatap kaka dengan tatapan bingun dik, maksud kaka adalah kenapa Tuhan

                      seakan tak pernah mendengarkan doa serta seakan tak pernah melihat penderitaan

                      kita dan bila memang Tuhan itu ada maka kenapa dia mesti membiarkan kita terus

                      hidup dalam jeruji derita, bukankah kita hanya ingin bebas melihat bintang itu

                      mengibaskan sayapnya di antara awan.”

                    “ entalah kak, sa juga bingun”. Dia menutup matanya dan menghembuskan nafas

                       secara perlahan. Mungkin itu adalah perasaan hatinya yang sudah memenuhi rongga

                      dadanya yang berusaha dia keluarkan.

                    “ kak, su sore jadi sa pi maen dulu”. Gadis itu perlahan-lahan meninggalkan.

              Gadis mungil itu pergi meninggalkanku. Aku masih diam dalam kisah piluh yang diingatkan gadis mungil itu. Umur gadis mungil masih belasan namun pola pikirnya melampau usianya. Aku berharap bila ada banyak sosok seusianya yang mempunyai pandangan seperti gadis musngil itu dan aku yakin bila ada maka cepat atau lambat bintang itu akan bersinar.

                ***







Bandung, 19/03/2019

Oleh : Emanuel Bamulki

                 

Sabtu, 09 Maret 2019

Cerpen : PUBG DAN BERKARYA




              Aku yang masih terbaring di tempat tidurku merasa terusik dengan rasa dingin yang menyerang kakiku. Selimut yang semalam menutupi tubuhku kini sudah berpindah tempat dan entah siapa yang memindahkannya, mungkin juga ketika aku tidur, tanpa sengaja ku buang selimut itu hingga kini sudah berada di pojok dekat meja. Perutku bunyi ketika aku mulai kembali ke alam sadar. Setelah aku benar-benar sudah merasa sadar dari sisa-sisa rasa malas bangun yang terbawah dari tidurku maka aku duduk dan tanpa menunggu lama, ku buka lektop yang tergeletak dilantai, kemudian ku nyalakan lektop itu, lalu ku bunyikan sebuah lagu yang baru kemarin sempat ku download di taman wifi.

              Lagu yang berjudul mace tukang selingku karya rechabar famly & wagadei crew 1’8 itu pun bunyi. Setiap ungkapan dalam lagu itu mengingatku pada setiap jarum yang telah di tancapkan pada hatiku. Luka yang bisu itu pun ku rasa sedang menangis karena sentuhan lirik lagu itu. Memang setiap lagu yang kita dengarkan bisa saja mewakili setiap rasa yang kita alami, bahkan bisa pula lirik lagu itu membawa kita ke masa lalu. Mengingatkan kita kepada kenangan yang sudah pernah kita lalui dan hendak kita lupakan.

               Perutku yang sempat tadi melantunkan bunyi, kini ku rasa sedang meminta hak. Tentu saja perut itu sedang minta makan. Nasip memang tak selalu baik, begitu pula dengan kondisiku sekarang. Jujur saja bahwa aku memang kini tak memiliki sepeserpun uang. Aku mengambil keputusan untuk melupakan rasa lapar dan membiarkannya mengalir begitu saja, mungkin dengan begitu rasa laparku akan hilang.

               “ Kaka man, ko su bangun ”. suara adikku sambil mengetuk pintu kamarku.

               “ Sudah dik? ”, balasku sambil merangkak membukakan pintu.

               “ Ko pu rokok adakah tidak? ”. sebuah pertanyaan yang membuatku Semangat.

                “ Sa pu rokok su habis dan sa juga lapar ”. sahutku jujur.

                “ Ko ikut sa kedepan su ”.

                “ io, ayo jalan ”. balasku sambil berdiri mengikuti adikku.

             Setelah sampai di depan jalan. Aku di minta oleh adikku untuk lansung pergi ke warung kecil yang berada disamping masjid. Aku pun akhirnya dengan perlahan melajukan kakiku mengarah ke warung kecil yang dimaksud adikku. Disana aku memesan makan, kemudian lansung melahapnya hingga habis.

              Beberapa saat setelah makanan itu habis, adikku itu pun datang sambil membawakan sebungkus rokok sampoerna kretek beserta satu lembar uang dua puluh ribu. Setelah menyerahkan rokok dan uang itu, adikku menyuruhku untuk membayarkan makanan itu dengan uang pemberiannya tadi sambil pergi meninggalkanku dari warung kecil itu.

             Usai adikku itu pergi maka aku ambil sebatang rokok sampoerna kretek yang tadi dibelikan adikku. Memang sebuah tradisi bagi seorang perokok untuk merokok bila usai makan. Pastinya semua perokok akan merokok setelah makan sebab rasanya kurang bila makan tanpa merokok. Sama seperti minum setelah makan, keduanya adalah pasangan, namun bagi perokok mungkin merokok berpasangan dengan makan. Ya begitulah rasanya menjadi seorang perokok.

               Kemudian aku membayar makanan yang tadi sempat ku lahap sampai habis itu, sesudah itu aku kembali ke dalam kamar kosanku. Ku pakai sebuah jaket curian, Sebenarnya bukan curian namun karena jaket itu milik abangku yang ku ambil tanpa memberitahukannya maka boleh di kategorikan sebagai barang curian, Lalu Ku masukan lektop kedalam tas dan selanjutnya ku kenakan sebuah sepatu yang sudah mulai robek karena kurang dirawat. Setelah aku merasa bahwa semuanya sudah siap maka ku lajukan kakiku menuju taman wifi.

              Sesungguhnya, Niatku ke taman wifi adalah main PUBG. Sebuah game online yang kini sedang naik daun dikalangan anak-anak muda di Indonesia. Aku sebetulnya tidak begitu menyukai dunia game namun entah kenapa aku pun sudah menjadi salah satu pecandu game ini, walaupun aku memang tidak sampai berjam-jam main game ini. Ketika aku hendak main game ini, mungkin disaat itu aku memang tidak memiliki ide untuk menulis. Menulislah bagian dari hidupku, Bagiku hidup tanpa menulis ibarat hidup tanpa nafas. Mungkin untuk game itu sendiri bisa aku katakan tempat aku menyegarkan otakku yang sudah beku karena mengarungi dunia huruf.

               Ya, itulah rahasianya. Kini pun aku hendak pergi main game PUBG karena memang aku sedang tidak memiliki ide untuk bahan tulisanku. Aku memang bukan seorang penulis hebat seperti andre hirata, pramodya ananta dan lainnya, aku hanyalah seorang penulis cerpen yang abal-abalan.

                Setelah tiga puluh menitan berjalan kaki, aku pun akhirnya sampai pula di taman wifi. Ketika sampai di taman wifi yang letaknya berada di tengah kampus. Kampus tempatku kuliah, disana ada abangku yang duduk sambil menikmati kehangatan yang diberikan dunia online, sedangkan disampingnya ada seorang temanku yang juga sedang duduk asik menonton anime di youtube.

                Temanku itu sering di sapa paitua dan bagi paitua dunia anime itu menjadi sebuah tempat edukasi yang baik baginya. Banyak hal yang menurutnya bisa kita dapatkan dengan menonton anime. Misalnya seperti naruto yang menurut paitua dapat kita petik pelajaran hidupnya. Katanya lagi, dalam anime naruto, kita akan diajarkan bagaimana kita musti sabar, bagaimana kita musti terus menjaga komitmen, kerjasama, kekeluargaan dan ketelitian. Sebenarnya banyak lagi anime lainnya yang sempat ia ceritakan makna positif yang sempat ia dapatkan namun aku telah lupa semuanya. Yang masih ku ingat Cuma naruto dan itu pun karena aku juga menyukai anime itu.

                  Lalu abangku itu sendiri disapa aibon Papua. Entalah apa arti nama itu, mungkin hanya dia dan orang yang memberikan julukan itu saja yang tahu tentang nama itu. Abangku itu lebih menyukai dunia ilmiah. Ya memang beda denganku yang lebih menyukai dunia fiksi.

                 Aku lansung menyapa keduanya, lalu duduk di tempat dimana ada sebuah cok roll yang menjadi satu-satunya sumber listrik ditempat itu. Kebetulan ketika aku datang dari kosan, lektop yang ku bawah dalam keadaan kritis batreinya dan karena itu aku duduk ditempat dimana ada sumber listrik sehingga memudahkanku untuk cas lektopnya.

                 Usai batrei lektopku menujukan bahwa batreinya terisi maka aku lansung menghidupkan lektopku, kemudian menyambungkannya dengan jaringan wifi yang ada disitu. Usai itu, aku membuka PUBG dan masuk bermain.

                  “ ko belajar menembakkah?, atau di mapia akan ada perang jadi latihan tembak”. Suara yang bersumber dari abangku yang entah sejak kapan sudah berada di sampingku itu sontak membuakku kaget.

                Aku tidak menjawab ucapan abangku itu. Aku hanya diam dan terus tenggelam dalam dunia game. Kemudian abangku itu meninggalkan aku dan temanku yang kebetulan pula duduk disampingku. Game yang kumainkan itu pun usai sehingga ku hentikan dulu aktifitas ku terhadap game itu dan membuka facebook. Ketika jendela facebook sudah terbuka maka disana ada sebuah status yang baru saja diupload oleh abangku yang tadi sempat menegurku. “ Tanpa Karya hanya main GAME PUBG dikira lagi Belajar padahal tidak.”. kurang lebih begitulah ungkapannya dan ungkapan itu lansung memberiku ide untuk menulis.

             Tentu saja, bacaan yang anda sekarang baca inilah hasil dari ide yang berasal dari sebuah status di facebook yang di upload oleh abangku. Kita masing-masing diberi talenta untuk melakukan sesuatu yang berharga dan membangun sehingga menurut hemat aku, kita mustilah pandai dalam memamfaatkannya. Setiap momen itu berarti bahkan sangat berarti sekali, sebab bila kita memamfaatkan momen itu maka hanya akan ada penyesalan dikemudian harinya.

              





Bandung, 09/03/2019

Oleh : Emanuel Bamulki