Air
mataku tumpah tanpa suara. Perih terasa menusuk rasa yang tersimpan di hati
kecil. Tuhan mencipta tanah surga di timur sana, Suara burung cendrawasih masih
terdengar di benak. Kilauan cahaya emas yang sejak dahulu hingga kini terus dicuri
masih terasa segar terbayang di mata. Di jalanan berdebu mama-mama duduk
menunggu sentuhan tuan berbudi yang sekedar datang menawar sebutir keringat
yang di letakan diatas karung bekas.
Dimana-mana darah mengalir tanpa belas kasihan membanjiri tanah pusaka
manusia berkulit hitam dan berambut keriting. Kadang aku mencari keadilan bagi
kami kepada Tuhan namun entah kenapa Tuhan seakan tak pernah melihat bahkan
mendengar.
Pernah suatu hari seorang gadis mungil datang dengan muka murung
kepadaku.
“ kaka, kenapa kita pu
bintang sampe hari ini masih belum bersinar ”, Ucapnya
padaku.
“ bintang yang mana ade
cantik ”, balasku pada gadis mungil itu.
“ kaka jang pura-pura tratau su.
Bintang yang terlihat muram di selembar kain
Dekat dinding kamarnya
kaka itu ”. Serunya, sambil menunjukan jemarinya
mengarah ke sebuah
kain lusuh berbentuk persegi empat yang dihiasi gambar
yang terbagi menjadi
dua bagian. Bagian pertama adalah sebuah kotak berwarna
merah dan ditengah
kotak itu ada sebuah bintang sedangkan bagian keduanya
terdiri dari beberapa bentuk balok
yang membetuk warna putih dan biru dan
balok itu berjumlah 12
sehingga bila dibagi dua maka masing-masing 6 berwarna \ putih dan 6 berwarna
biru.
“ Oh itu ya dik. Sio sa pu ade, ko tau…,
kaka jua merasa sedih lihat kita pu bintang
Itu selalu berduka.
Raut wajahnya yang menurutku sangat indah itu selalu murung.
Kata bapa tuh, tempo
dulu deh pernah tersenyum sambil membiarkan tubuhnya di
sentuh hembusan angin
tapi semenjak pemerintah Indonesia memburunya seperti
bintang de sekarang
hanya menjadi buronan yang dilarang bahkan diharamkan
buat memperlihatkan de pu batang hidung ”.
Tururku sambil membuang seluruh
nafas yang sengaja ku tahan karena tak kuat
menggambar petaka yang
menimpanya.
Gadis mungil itu sontak mengingatkan ku pada sosok bapa yang kini telah
tiada. Bapa yang di tuduh sebagai separatis itu pun dibantai dengan sadis. Aku
ingat betul kejadiannya walau saat itu aku masih kecil. Saat itu, bapa yang
kebetulan pulang bersamaku dari hutan sehabis berburu di cegat oleh sepasukan
orang berpakaian loreng. Orang-orang itu tanpa mengatakan apapun lansung
menembak bapa di depan mataku. Peluru Senjata laras pendek itu lansung
bersarang di dadanya. Warna merah darah yang muncrat keluar dari lubang yang
terbetuk akibat peluru itu pun membanjiri jalan raya. Aspal yang hitam itu
lansung berubah warna berganti menjadi merah.
Melihat tubuh bapa yang jatuh diatas aspal seperti batang pohon yang
ditebang itu membuat penglihatanku buram. Aku tidak ingat lagi selanjutnya.
Perlahan-lahan ku buka mataku, Ku perhatikan sekelilingku. Bukankah yang
terahir ku lihat adalah tubuh bapa yang bermandi darah di atas aspal, lalu
kenapa sekarang aku bisa berada diatas tempat tidur. Apakah tadi itu hanyalah
sebuah mimpi ataukah itu benar-benar terjadi.
Secepatnya ku berdiri dan melangkahkan kakiku kearah ruang tamu. Sekitar
belasan pemuda yang satu dusun denganku sedang duduk sambil ngopi. Ku tengok
kearah luar rumah dan ternyata diluar sudah dalam keadaan gelap. Aku ternyata
bangun pas tengah malam.
“ eniha, Ko su sadar ”. itu
adalah suara sahabatku Stef.
“ Mari ko datang duduk disini ”. Ucap andi yang juga adalah sahabatku.
Tanpa mengucapkan apapun aku kemudian duduk di dekat andi, lalu stef pun
datang mendekat kearahku dan duduk pula disampingku. Boleh dibilang kami
bertiga bersahabat, kadang main bersama. Hingga berkelahi sampai berdarah-darah
namun mungkin pula itulah yang membuat persahabatan kami sangat erat.
“ sabar eee… eniha”. Ucap stef
“ tuh sudah kawan, ko harus kuat…!”. Sambung andi.
Dengan perlahan-lahan ku berdiri dan pergi kearah dapur. Ruangan dapur
yang dibangun secara tradisional itu sangatlah luas ukurannya sehingga mampu
menampung hampir dua puluhan orang lebih. Di dapur ternyata sudah sangat penuh
dengan orang dan ditengah orang-orang yang duduk itu ternyata bapa terbaring kaku
disana. Ternyata kejadian siang tadi bukanlah sebuah mimpi melainkan kenyataan
pahit yang mungkin akan ku ingat terus hingga diriku dibaringkan di liang
kubur.
Melihat kenyataan yang sesungguh sangat tidak ku harapkan itu memaksaku
secara perlahan berbalik arah ke kamarku. Usai sampai di dalam kamarku, lalu ku
duduk di atas pembaringan, kemudian secara samar-samar bayangan akan kejadian siang
tadi kembali merasuki benakku. Aku tidak sampai mengira bahwa bapaku harus mati
mengenaskan. Ku ingat jelas siapa yang membunuh bapa. Mereka yang membunuh bapa
itu mengenakan pakaian loreng.
Keesokan harinya bapa pun dikubur dan beberapa hari kemudian aku
akhirnya tahu mengapa ketika malam itu aku mendapati diriku terbaring di kamar.
Ternyata usai bapa ditembak, aku yang melihat kejadian itu lansung pingsan
karena tak kuasa melihat kejadian itu dan untung pula ketika aku
pingsan,ternyata ada sekitar sepuluh orang yang datang ke tempat kejadian.
Salah satu dari mereka ternyata adalah bapak kepala distrik, sehingga aku pun
dapat di amankan segera. Mungkin bila tak ada mereka maka aku pun pasti
bernasip sama dengan bapa.
Kurang lebih seperti itulah nasip malang yang datang menimpa keluargaku.
Ku ingat semuanya dan takan pernah ku lupakan. Kemudian gadis mungil itu masih
Nampak diam disampingku. Entah apa yang kini sedang di pikirkannya, aku tak
bisa memastikannya. Mungkin pula gadis mungil itu lagi tenggelam dalam bayangan
kepedihan yang dialami bintang di dinding itu.
Entahlah, pokoknya kisah
mengenai perjuangan saudara-saudaraku untuk membuat bintang itu tersenyum masih
terasa hingga kini, bahkan tidak lama ini di Nduga sempat terjadi peristiwa adu
senjata namun lucunya media-media nasional mengatakan bahwa adu senjata itu
terjadi karena pihak KKB (kelompok criminal bersenjata) yang
menyerang warga sipil yakni para pekerja jalan trans Papua yang kebetulan
sedang bertugas di lokasi penembakan. Kenyataannya yang ditembaki itu bukan
warga sipil melainkan TNI, Lalu yang dinyatakan meninggal itu pun sesungguhnya
TNI dan berita tentang KKB yang menewaskan para pekerja itu pun di tayangkan
ulang-ulang, di beritakan ulang-ulang, sedangkan pemboman di Nduga yang
dilakukan oleh para aparat negara itu dibisukan. Yang lebih parahnya lagi
adalah kenyataan tentang pengunsian masyarakat Nduga dihutan-hutan serta
kematian dan penderitaannya tidak pernah dimuat.
kalau menyinggung soal ketidakadilan
yang dilakukan oleh pemerintah karena mempertahankan prinsipnya untuk menjaga
kesatuan malah menciptakan ladang penderitaan bagi orang-orang kulit hitam di
negeri yang dijarah oleh para kapitalis. Bukankah dengan kebijakan yang
pemerintah lakukan itu sendiri sudah menunjukan perbedaan perlakuan. Semua memang
sudah dibuat bisu sehingga suara kaum yang menderita memang tidak akan pernah
menghasilkan apa-apa.
Ku lirik lagi gadis mungil
itu. Dia menatapku dengan sebuah senyum yang sulit ku utarakan dalam bentuk
kata. Senyum yang keluar dari hati perindu. Aku tahu bahwa dia merindu senyuman
bintang itu. Aku pun tahu dia sangat berharap melihat bintang itu berkibar di
tengah awan.
“ dik, entah kenapa aku
merasa bahwa ada ketidakadilan dalam hidup ini? ”. dia
menatapku dengan dingin.
“ apakah Tuhan buta atau
tuli? ”. dia makin terlihat bingun.
“ jangan tatap kaka dengan
tatapan bingun dik, maksud kaka adalah kenapa Tuhan
seakan tak pernah
mendengarkan doa serta seakan tak pernah melihat penderitaan
kita dan bila memang
Tuhan itu ada maka kenapa dia mesti membiarkan kita terus
hidup dalam jeruji
derita, bukankah kita hanya ingin bebas melihat bintang itu
mengibaskan sayapnya di
antara awan.”
“ entalah kak, sa juga
bingun”. Dia menutup matanya dan menghembuskan nafas
secara perlahan. Mungkin itu adalah
perasaan hatinya yang sudah memenuhi rongga
dadanya yang berusaha dia
keluarkan.
“ kak, su sore jadi sa pi
maen dulu”. Gadis itu perlahan-lahan meninggalkan.
Gadis mungil itu pergi meninggalkanku.
Aku masih diam dalam kisah piluh yang diingatkan gadis mungil itu. Umur gadis
mungil masih belasan namun pola pikirnya melampau usianya. Aku berharap bila
ada banyak sosok seusianya yang mempunyai pandangan seperti gadis musngil itu
dan aku yakin bila ada maka cepat atau lambat bintang itu akan bersinar.
***
Bandung, 19/03/2019
Oleh : Emanuel Bamulki
Tidak ada komentar:
Posting Komentar