Senin, 18 Maret 2019

CERPEN : BINTANG YANG DIHARAMKAN





 
ilustrasi



             Air mataku tumpah tanpa suara. Perih terasa menusuk rasa yang tersimpan di hati kecil. Tuhan mencipta tanah surga di timur sana, Suara burung cendrawasih masih terdengar di benak. Kilauan cahaya emas yang sejak dahulu hingga kini terus dicuri masih terasa segar terbayang di mata. Di jalanan berdebu mama-mama duduk menunggu sentuhan tuan berbudi yang sekedar datang menawar sebutir keringat yang di letakan diatas karung bekas.

              Dimana-mana darah mengalir tanpa belas kasihan membanjiri tanah pusaka manusia berkulit hitam dan berambut keriting. Kadang aku mencari keadilan bagi kami kepada Tuhan namun entah kenapa Tuhan seakan tak pernah melihat bahkan mendengar.

              Pernah suatu hari seorang gadis mungil datang dengan muka murung kepadaku.

                      “ kaka, kenapa kita pu bintang sampe hari ini masih belum bersinar ”, Ucapnya

                         padaku.

                      “ bintang yang mana ade cantik ”, balasku pada gadis mungil itu.

                      “ kaka jang pura-pura tratau su. Bintang yang terlihat muram di selembar kain 

                         Dekat dinding kamarnya kaka itu ”. Serunya, sambil menunjukan jemarinya

                         mengarah ke sebuah kain lusuh berbentuk persegi empat yang dihiasi gambar

                         yang terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sebuah kotak berwarna

                         merah dan ditengah kotak itu ada sebuah bintang sedangkan bagian keduanya

                         terdiri dari beberapa bentuk balok yang membetuk warna putih dan biru dan

                         balok itu berjumlah 12 sehingga bila dibagi dua maka masing-masing 6 berwarna \                        putih dan 6 berwarna biru.

                       “ Oh itu ya dik. Sio sa pu ade, ko tau…, kaka jua merasa sedih lihat kita pu bintang

                          Itu selalu berduka. Raut wajahnya yang menurutku sangat indah itu selalu murung.

                          Kata bapa tuh, tempo dulu deh pernah tersenyum sambil membiarkan tubuhnya di

                          sentuh hembusan angin tapi semenjak pemerintah Indonesia memburunya seperti

                          bintang de sekarang hanya menjadi buronan yang dilarang bahkan diharamkan

                          buat memperlihatkan de pu batang hidung ”. Tururku sambil membuang seluruh

                           nafas yang sengaja ku tahan karena tak kuat menggambar petaka yang

                           menimpanya.

               Gadis mungil itu sontak mengingatkan ku pada sosok bapa yang kini telah tiada. Bapa yang di tuduh sebagai separatis itu pun dibantai dengan sadis. Aku ingat betul kejadiannya walau saat itu aku masih kecil. Saat itu, bapa yang kebetulan pulang bersamaku dari hutan sehabis berburu di cegat oleh sepasukan orang berpakaian loreng. Orang-orang itu tanpa mengatakan apapun lansung menembak bapa di depan mataku. Peluru Senjata laras pendek itu lansung bersarang di dadanya. Warna merah darah yang muncrat keluar dari lubang yang terbetuk akibat peluru itu pun membanjiri jalan raya. Aspal yang hitam itu lansung berubah warna berganti menjadi merah.

             Melihat tubuh bapa yang jatuh diatas aspal seperti batang pohon yang ditebang itu membuat penglihatanku buram. Aku tidak ingat lagi selanjutnya.

             Perlahan-lahan ku buka mataku, Ku perhatikan sekelilingku. Bukankah yang terahir ku lihat adalah tubuh bapa yang bermandi darah di atas aspal, lalu kenapa sekarang aku bisa berada diatas tempat tidur. Apakah tadi itu hanyalah sebuah mimpi ataukah itu benar-benar terjadi.

              Secepatnya ku berdiri dan melangkahkan kakiku kearah ruang tamu. Sekitar belasan pemuda yang satu dusun denganku sedang duduk sambil ngopi. Ku tengok kearah luar rumah dan ternyata diluar sudah dalam keadaan gelap. Aku ternyata bangun pas tengah malam.

                    “ eniha, Ko su sadar  ”. itu adalah suara sahabatku Stef.

                     “ Mari ko datang duduk disini ”. Ucap andi yang juga adalah sahabatku.

                 Tanpa mengucapkan apapun aku kemudian duduk di dekat andi, lalu stef pun datang mendekat kearahku dan duduk pula disampingku. Boleh dibilang kami bertiga bersahabat, kadang main bersama. Hingga berkelahi sampai berdarah-darah namun mungkin pula itulah yang membuat persahabatan kami sangat erat.

                     “ sabar eee… eniha”. Ucap stef

                     “ tuh sudah kawan, ko harus kuat…!”. Sambung andi.

                  Dengan perlahan-lahan ku berdiri dan pergi kearah dapur. Ruangan dapur yang dibangun secara tradisional itu sangatlah luas ukurannya sehingga mampu menampung hampir dua puluhan orang lebih. Di dapur ternyata sudah sangat penuh dengan orang dan ditengah orang-orang yang duduk itu ternyata bapa terbaring kaku disana. Ternyata kejadian siang tadi bukanlah sebuah mimpi melainkan kenyataan pahit yang mungkin akan ku ingat terus hingga diriku dibaringkan di liang kubur.

                   Melihat kenyataan yang sesungguh sangat tidak ku harapkan itu memaksaku secara perlahan berbalik arah ke kamarku. Usai sampai di dalam kamarku, lalu ku duduk di atas pembaringan, kemudian secara samar-samar bayangan akan kejadian siang tadi kembali merasuki benakku. Aku tidak sampai mengira bahwa bapaku harus mati mengenaskan. Ku ingat jelas siapa yang membunuh bapa. Mereka yang membunuh bapa itu mengenakan pakaian loreng.

               Keesokan harinya bapa pun dikubur dan beberapa hari kemudian aku akhirnya tahu mengapa ketika malam itu aku mendapati diriku terbaring di kamar. Ternyata usai bapa ditembak, aku yang melihat kejadian itu lansung pingsan karena tak kuasa melihat kejadian itu dan untung pula ketika aku pingsan,ternyata ada sekitar sepuluh orang yang datang ke tempat kejadian. Salah satu dari mereka ternyata adalah bapak kepala distrik, sehingga aku pun dapat di amankan segera. Mungkin bila tak ada mereka maka aku pun pasti bernasip sama dengan bapa.

               Kurang lebih seperti itulah nasip malang yang datang menimpa keluargaku. Ku ingat semuanya dan takan pernah ku lupakan. Kemudian gadis mungil itu masih Nampak diam disampingku. Entah apa yang kini sedang di pikirkannya, aku tak bisa memastikannya. Mungkin pula gadis mungil itu lagi tenggelam dalam bayangan kepedihan yang dialami bintang di dinding itu.

                Entahlah, pokoknya kisah mengenai perjuangan saudara-saudaraku untuk membuat bintang itu tersenyum masih terasa hingga kini, bahkan tidak lama ini di Nduga sempat terjadi peristiwa adu senjata namun lucunya media-media nasional mengatakan bahwa adu senjata itu terjadi karena pihak KKB (kelompok criminal bersenjata) yang menyerang warga sipil yakni para pekerja jalan trans Papua yang kebetulan sedang bertugas di lokasi penembakan. Kenyataannya yang ditembaki itu bukan warga sipil melainkan TNI, Lalu yang dinyatakan meninggal itu pun sesungguhnya TNI dan berita tentang KKB yang menewaskan para pekerja itu pun di tayangkan ulang-ulang, di beritakan ulang-ulang, sedangkan pemboman di Nduga yang dilakukan oleh para aparat negara itu dibisukan. Yang lebih parahnya lagi adalah kenyataan tentang pengunsian masyarakat Nduga dihutan-hutan serta kematian dan penderitaannya tidak pernah dimuat.

                  kalau menyinggung soal ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah karena mempertahankan prinsipnya untuk menjaga kesatuan malah menciptakan ladang penderitaan bagi orang-orang kulit hitam di negeri yang dijarah oleh para kapitalis. Bukankah dengan kebijakan yang pemerintah lakukan itu sendiri sudah menunjukan perbedaan perlakuan. Semua memang sudah dibuat bisu sehingga suara kaum yang menderita memang tidak akan pernah menghasilkan apa-apa.

                   Ku lirik lagi gadis mungil itu. Dia menatapku dengan sebuah senyum yang sulit ku utarakan dalam bentuk kata. Senyum yang keluar dari hati perindu. Aku tahu bahwa dia merindu senyuman bintang itu. Aku pun tahu dia sangat berharap melihat bintang itu berkibar di tengah awan.

                   “ dik, entah kenapa aku merasa bahwa ada ketidakadilan dalam hidup ini? ”. dia

                      menatapku dengan dingin.

                   “ apakah Tuhan buta atau tuli? ”. dia makin terlihat bingun.

                   “ jangan tatap kaka dengan tatapan bingun dik, maksud kaka adalah kenapa Tuhan

                      seakan tak pernah mendengarkan doa serta seakan tak pernah melihat penderitaan

                      kita dan bila memang Tuhan itu ada maka kenapa dia mesti membiarkan kita terus

                      hidup dalam jeruji derita, bukankah kita hanya ingin bebas melihat bintang itu

                      mengibaskan sayapnya di antara awan.”

                    “ entalah kak, sa juga bingun”. Dia menutup matanya dan menghembuskan nafas

                       secara perlahan. Mungkin itu adalah perasaan hatinya yang sudah memenuhi rongga

                      dadanya yang berusaha dia keluarkan.

                    “ kak, su sore jadi sa pi maen dulu”. Gadis itu perlahan-lahan meninggalkan.

              Gadis mungil itu pergi meninggalkanku. Aku masih diam dalam kisah piluh yang diingatkan gadis mungil itu. Umur gadis mungil masih belasan namun pola pikirnya melampau usianya. Aku berharap bila ada banyak sosok seusianya yang mempunyai pandangan seperti gadis musngil itu dan aku yakin bila ada maka cepat atau lambat bintang itu akan bersinar.

                ***







Bandung, 19/03/2019

Oleh : Emanuel Bamulki

                 

Sabtu, 09 Maret 2019

Cerpen : PUBG DAN BERKARYA




              Aku yang masih terbaring di tempat tidurku merasa terusik dengan rasa dingin yang menyerang kakiku. Selimut yang semalam menutupi tubuhku kini sudah berpindah tempat dan entah siapa yang memindahkannya, mungkin juga ketika aku tidur, tanpa sengaja ku buang selimut itu hingga kini sudah berada di pojok dekat meja. Perutku bunyi ketika aku mulai kembali ke alam sadar. Setelah aku benar-benar sudah merasa sadar dari sisa-sisa rasa malas bangun yang terbawah dari tidurku maka aku duduk dan tanpa menunggu lama, ku buka lektop yang tergeletak dilantai, kemudian ku nyalakan lektop itu, lalu ku bunyikan sebuah lagu yang baru kemarin sempat ku download di taman wifi.

              Lagu yang berjudul mace tukang selingku karya rechabar famly & wagadei crew 1’8 itu pun bunyi. Setiap ungkapan dalam lagu itu mengingatku pada setiap jarum yang telah di tancapkan pada hatiku. Luka yang bisu itu pun ku rasa sedang menangis karena sentuhan lirik lagu itu. Memang setiap lagu yang kita dengarkan bisa saja mewakili setiap rasa yang kita alami, bahkan bisa pula lirik lagu itu membawa kita ke masa lalu. Mengingatkan kita kepada kenangan yang sudah pernah kita lalui dan hendak kita lupakan.

               Perutku yang sempat tadi melantunkan bunyi, kini ku rasa sedang meminta hak. Tentu saja perut itu sedang minta makan. Nasip memang tak selalu baik, begitu pula dengan kondisiku sekarang. Jujur saja bahwa aku memang kini tak memiliki sepeserpun uang. Aku mengambil keputusan untuk melupakan rasa lapar dan membiarkannya mengalir begitu saja, mungkin dengan begitu rasa laparku akan hilang.

               “ Kaka man, ko su bangun ”. suara adikku sambil mengetuk pintu kamarku.

               “ Sudah dik? ”, balasku sambil merangkak membukakan pintu.

               “ Ko pu rokok adakah tidak? ”. sebuah pertanyaan yang membuatku Semangat.

                “ Sa pu rokok su habis dan sa juga lapar ”. sahutku jujur.

                “ Ko ikut sa kedepan su ”.

                “ io, ayo jalan ”. balasku sambil berdiri mengikuti adikku.

             Setelah sampai di depan jalan. Aku di minta oleh adikku untuk lansung pergi ke warung kecil yang berada disamping masjid. Aku pun akhirnya dengan perlahan melajukan kakiku mengarah ke warung kecil yang dimaksud adikku. Disana aku memesan makan, kemudian lansung melahapnya hingga habis.

              Beberapa saat setelah makanan itu habis, adikku itu pun datang sambil membawakan sebungkus rokok sampoerna kretek beserta satu lembar uang dua puluh ribu. Setelah menyerahkan rokok dan uang itu, adikku menyuruhku untuk membayarkan makanan itu dengan uang pemberiannya tadi sambil pergi meninggalkanku dari warung kecil itu.

             Usai adikku itu pergi maka aku ambil sebatang rokok sampoerna kretek yang tadi dibelikan adikku. Memang sebuah tradisi bagi seorang perokok untuk merokok bila usai makan. Pastinya semua perokok akan merokok setelah makan sebab rasanya kurang bila makan tanpa merokok. Sama seperti minum setelah makan, keduanya adalah pasangan, namun bagi perokok mungkin merokok berpasangan dengan makan. Ya begitulah rasanya menjadi seorang perokok.

               Kemudian aku membayar makanan yang tadi sempat ku lahap sampai habis itu, sesudah itu aku kembali ke dalam kamar kosanku. Ku pakai sebuah jaket curian, Sebenarnya bukan curian namun karena jaket itu milik abangku yang ku ambil tanpa memberitahukannya maka boleh di kategorikan sebagai barang curian, Lalu Ku masukan lektop kedalam tas dan selanjutnya ku kenakan sebuah sepatu yang sudah mulai robek karena kurang dirawat. Setelah aku merasa bahwa semuanya sudah siap maka ku lajukan kakiku menuju taman wifi.

              Sesungguhnya, Niatku ke taman wifi adalah main PUBG. Sebuah game online yang kini sedang naik daun dikalangan anak-anak muda di Indonesia. Aku sebetulnya tidak begitu menyukai dunia game namun entah kenapa aku pun sudah menjadi salah satu pecandu game ini, walaupun aku memang tidak sampai berjam-jam main game ini. Ketika aku hendak main game ini, mungkin disaat itu aku memang tidak memiliki ide untuk menulis. Menulislah bagian dari hidupku, Bagiku hidup tanpa menulis ibarat hidup tanpa nafas. Mungkin untuk game itu sendiri bisa aku katakan tempat aku menyegarkan otakku yang sudah beku karena mengarungi dunia huruf.

               Ya, itulah rahasianya. Kini pun aku hendak pergi main game PUBG karena memang aku sedang tidak memiliki ide untuk bahan tulisanku. Aku memang bukan seorang penulis hebat seperti andre hirata, pramodya ananta dan lainnya, aku hanyalah seorang penulis cerpen yang abal-abalan.

                Setelah tiga puluh menitan berjalan kaki, aku pun akhirnya sampai pula di taman wifi. Ketika sampai di taman wifi yang letaknya berada di tengah kampus. Kampus tempatku kuliah, disana ada abangku yang duduk sambil menikmati kehangatan yang diberikan dunia online, sedangkan disampingnya ada seorang temanku yang juga sedang duduk asik menonton anime di youtube.

                Temanku itu sering di sapa paitua dan bagi paitua dunia anime itu menjadi sebuah tempat edukasi yang baik baginya. Banyak hal yang menurutnya bisa kita dapatkan dengan menonton anime. Misalnya seperti naruto yang menurut paitua dapat kita petik pelajaran hidupnya. Katanya lagi, dalam anime naruto, kita akan diajarkan bagaimana kita musti sabar, bagaimana kita musti terus menjaga komitmen, kerjasama, kekeluargaan dan ketelitian. Sebenarnya banyak lagi anime lainnya yang sempat ia ceritakan makna positif yang sempat ia dapatkan namun aku telah lupa semuanya. Yang masih ku ingat Cuma naruto dan itu pun karena aku juga menyukai anime itu.

                  Lalu abangku itu sendiri disapa aibon Papua. Entalah apa arti nama itu, mungkin hanya dia dan orang yang memberikan julukan itu saja yang tahu tentang nama itu. Abangku itu lebih menyukai dunia ilmiah. Ya memang beda denganku yang lebih menyukai dunia fiksi.

                 Aku lansung menyapa keduanya, lalu duduk di tempat dimana ada sebuah cok roll yang menjadi satu-satunya sumber listrik ditempat itu. Kebetulan ketika aku datang dari kosan, lektop yang ku bawah dalam keadaan kritis batreinya dan karena itu aku duduk ditempat dimana ada sumber listrik sehingga memudahkanku untuk cas lektopnya.

                 Usai batrei lektopku menujukan bahwa batreinya terisi maka aku lansung menghidupkan lektopku, kemudian menyambungkannya dengan jaringan wifi yang ada disitu. Usai itu, aku membuka PUBG dan masuk bermain.

                  “ ko belajar menembakkah?, atau di mapia akan ada perang jadi latihan tembak”. Suara yang bersumber dari abangku yang entah sejak kapan sudah berada di sampingku itu sontak membuakku kaget.

                Aku tidak menjawab ucapan abangku itu. Aku hanya diam dan terus tenggelam dalam dunia game. Kemudian abangku itu meninggalkan aku dan temanku yang kebetulan pula duduk disampingku. Game yang kumainkan itu pun usai sehingga ku hentikan dulu aktifitas ku terhadap game itu dan membuka facebook. Ketika jendela facebook sudah terbuka maka disana ada sebuah status yang baru saja diupload oleh abangku yang tadi sempat menegurku. “ Tanpa Karya hanya main GAME PUBG dikira lagi Belajar padahal tidak.”. kurang lebih begitulah ungkapannya dan ungkapan itu lansung memberiku ide untuk menulis.

             Tentu saja, bacaan yang anda sekarang baca inilah hasil dari ide yang berasal dari sebuah status di facebook yang di upload oleh abangku. Kita masing-masing diberi talenta untuk melakukan sesuatu yang berharga dan membangun sehingga menurut hemat aku, kita mustilah pandai dalam memamfaatkannya. Setiap momen itu berarti bahkan sangat berarti sekali, sebab bila kita memamfaatkan momen itu maka hanya akan ada penyesalan dikemudian harinya.

              





Bandung, 09/03/2019

Oleh : Emanuel Bamulki

Senin, 04 Februari 2019

Cerpen : Sebuah Penghianatan Yang Berulang-ulang




     Sudah sejak sore Eniha tidur. Ketika jam sudah menujukan pukul tiga dini hari, ketika dinginnya angin gunung menusuk hingga kedalam tulang. Eniha terbangun dari tidur, lalu di amatinya sekitar tempat ia tidur dengan seksama, namun sosok gadis itu telah tiada, lenyap tanpa bekas. Kemudian dilihatnya di sudut Kasur, ternyata kedua lektop itu masih menyala, yang sebuah adalah miliknya, sedangkan satunya lagi adalah lektop yang sering digunakan gadis itu. Gadis yang coba ia pertahankan, gadis yang tanpa henti terus menanamkan luka, terus saja mengulang penghiatan.

                 Dengan perlahan eniha menahan nafas, Memang bukan sekali gadis itu hilang tanpa alasan, dan juga bukanlah sebuah perkara baru. Itu memang sudah kesukaan gadis itu, tentu saja gadis itu pasti menemui lekaki gelapnya. Ya lelaki yang ditemuinya atas nama Organisasi, Organisasilah yang mempertemukan keduanya, menjadikannya manusia tanpa perasaan, manusia yang terus melukai tanpa pernah ada belas kasihan.

                   Sebenarnya sangatlah lucu, Organisasi hanyalah kedok bagi sebagaian orang, Mungkin hanya beberapa yang dapat memetik buah dari arti kehadiran organisasi, namun lainnya hanya sebagai tempat untuk menikmati kesenangan, layaknya sebuah bar yang digunakan untuk bersenang-senang. Itulah sebuah realita yang kadang kurang diperhatikan oleh beberapa orang.

                   Tidak semua orang mempunyai padangan yang sama tentang itu, namun bagi eniha yang memang sudah sering dibuat seakan seperti setengah bintang itu berpendapat seperti itu. Apalagi ketika suatu hari eniha mendapatkan sebuah buku yang diberi Judul Seakan Katong Setengah binatang karya Filep Karma, membuatnya kembali berpikir tentang seperti apa perlakukan tidak adil dan kekejaman serta penjajahan yang dialaminya di dunia asmara, walau sesungguhnya buku itu sendiri mengulas tentang penderitaan masyarakat sipil di tanah papua.

                    Setelah kondisinya sudah stabil, Eniha mencoba membuka lektop milik gadis itu dan ketika dia melihat bahwa halaman facebook gadis itu masih dalam keadaan terbuka maka dia akhirnya membuka sebuah inbox dari kekasih gelap gadis itu, isinya adalah sebuah ungkapan bahwa “ Ko su sampe di koskah?”, melihat itu eniha akhinya sadar bahwa apa yang menjadi ganjalan hatinya bahwa gadis itu menemui lelaki itu benar adanya.

                     Usai itu, Eniha duduk membuka lektop miliknya sambil menarik rokok sampoerna kretek yang berada digenggamannya. Lalu dibukanya halaman youtube dan lansung mengetikan sebuah judul lagu yang beberapa hari ini seringkali dia bunyikan. Sebuah lagu daerah karya anak-anak meeuwo dengan judul Peka kadou wouga yamouga.

                     Ketika lagu itu mulai bunyi, eniha lalu melangkahkan kakinya mendekati termos panas yang terletak di dekat pintu, kemudian mengambilnya, lalu keluar mengisi air di kerang dekat kamar mandi dan kembali ke kamar untuk memanaskan air. Usai air panas, dia kemudian memutar kopi hitam digelas bekas kopi yang kemarin sore dia putar dan kembali lagi duduk didepan layar lektop sambil mendengarkan sebuah lagu berikutnya yang secara otomatis bunyi. lagu itu berjudul Mabi koya no, sebuah lagu daerah yang juga berasal dari meeuwo. Lagu inilah yang membuat ingatannya kembali pada masa silam, dimana ada seorang gadis Suku yang pernah ia cintai dengan tulus hingga dengan percaya diri mengajaknya kerumah untuk mengenalkannya dengan orang tua serta meminta restu untuk menikahinya. Namun sayang, nasip memang tak berpihak pada eniha, gadis suku itu ternyata masih memiliki hubungan keluarga denganya sehingga orang tua melarangnya.

                         Bermula dari kejadian pahit itu, kini eniha berusaha bertahan dan setia dengan seorang gadis bermuka dua, bahkan tinggal sekosan di sudut kota parayangan namun entah kenapa hanya rasa sakit dan penghianatan berulang-ulang yang dia terima dari hubungannya yang kini sedang jalani dengan kuat. Namun dengan santai dan tenangnya gadis bemuka dua itu terus melakukan kekejaman atas diri eniha, entah apa salah eniha, bahkan terus berulang, seakan-akan lagu yang diputar berulang saja.

                           Pernah suatu hari, sempat eniha bertemu dengan lelaki gelapnya gadis itu, namun lelaki itu pun hampir sama dengan gadis itu, sama-sama tak punya perasaan, terlalu egois dengan diri mereka, menganggap orang lain itu tidak pernah ada. Bahkan dengan terang-terangan sempat suatu kali mengatakan kepada eniha bahwa dia baru saja ketemu dengan gadis itu, padahal lelaki itu tahu bahwa gadis yang dia maksud itu adalah gadis yang selama ini tidur bangun dengan eniha. Entahlah dunia telah berubah bahkan watak dan tabiat orang pun sulit di ukur.

                    Pernah pula suatu saat eniha duduk termenung sambil mengingat nasipnya yang memang sangat menyedihkan itu, kemudian berkata dengan lantang, Tuhan siapakah aku ini, sehingga engkau terus mencoba mengukur kesabaranku sambil mengiris habis rasa cinta yang kau berikan sendiri untuk mencintai lawan jenis, dan penghakiman seperti apa ini, sebenarnya apa renacamu sesungguhnya Tuhan.
                       Itulah yang selama ini sempat dirasakan oleh eniha ketika penghianatan demi penghianatan itu terjadi, dan malam ini pun untuk kesekian kalinya dia harus menerima kenyataan bahwa dia masih diperlakukan seperti setengah binatang. Kemudian setelah sejam kemudian gadis itu datang dengan wajah cerah tanpa ada rasa gugup atau apapun itu, dia datang dengan tenang seakan tak pernah terjadi apa-apa, entah mungkin karena sudah biasa dan sudah menjadi kebiasaannya sehingga seperti itu.
               “ Ko dari mana?” ucap eniha.

               “ Sa dari depan.” Balas gadis itu tanpa malu.

               “ Ko habis ketemu deng dia itu”, sambung eniha.

               “ memangnya kenapa kalau sa ketemu dia, kan kita tidak ngapa-ngapain”, ucap

                  gadis itu dengan santai



                   Mendengar itu eniha terdiam, mungkin itu sudah jadi talentanya jadi tak apalah ucapnya dalam batin, namun satu hal yang pasti adalah kini dalam benak eniha hanya ada satu hal yaitu kelak dia takan pernah mengawini gadis itu, dan biarlah dia seperti itu, kan itu jalan hidupnya. Suatu saat gadis yang tepat akan datang, intinya yang harus dilakukan adalah memberbaiki yang sudah cacat, Tuhan pasti menyediakan seseorang yang mampu menerimanya lahir batin.

                 Usai itu dia merapatkan lektop miliknya itu tepat didepannya kemudian mulai menuliskan semua hal yang pernah membuatnya seperti setengah binatang.


Oleh : Emanuel Bamulki

Bandung, 05/02/2019

Kamis, 31 Januari 2019

Cerpen : Hantu Menjelang malam Morning star


Hantu menjelang malam Morning Star


                Nyala api unggun menerangi halaman sekolah, hawa dingin menusuk hingga kedalam tulang. Lalu Sekitar lima orang duduk mengelilingi kobaran api unggun itu, dan aku adalah salah satunya, namaku leuname. Lalu yang paling tua diantara kami bernama Lukas yang pada saat itu duduk di sebelah kananku, sedangkan di sebelah kiriku adalah leyden kawan baikku, disamping leyden duduk adik laki-lakiku marti, serta yang duduk di sebelah lukas adalah yosep teman kompleksku.

                 Kami sejak sore sudah duduk sambil membuat api unggun di tengah halaman sekolah dasar yang berada di kompleksku, itu pun karena pak kepala sekolah yang memang sudah seperti orang tua kami sempat meminta kami berlima untuk menjaga kompleks dari hal-hal yang negatif yang bisa saja mengancam lingkungan dan masyarakat yang hidup disekitar komleksku, hal ini mengingat besok adalah momen yang sangat penting bagi orang Papua. Ya.., besok tepat tanggal 1 desember. Sebuah hari yang datang tiap tahun, mengingatkan masa lalu orang papua, dimana bintang kejora berkibar pada tanggal 1 desember tahun 1961 untuk pertama kalinya tanpa adanya gangguan dari para penindas yang menyengsarakan manusia papua. Hari itu bangsa papua menyatakan diri sebagai satu bangsa yang terlepas dari ikatan penindasan bangsa lain, namun dengan tipu daya serta rekayasa oleh para penindas, penjajah, dan para kapitalis berhasil mengikat bangsa papua dalam pangkuan penderitaan.

               Memang kami sangat sependapat dengan pak kepala sekolah mengingat bahwa selama ini pernah banyak kejadian pelanggaran HAM yang sempat terjadi dibeberapa daerah dengan dalil mengamankan, misalnya seperti pemukulan, penangkapan dan penembakan terhadap warga sipil oleh ABRI.

                 “ teman-teman tentu pernah mendengar mengenai beberapa operasi yang dilakukan

                    oleh ABRI terhadap masyarakat sipil ditanah kita, tanah papua inikan? ”,

                     tanyaku pada teman-temanku itu.

                  

                  “ Memang aku pernah dengar namun tidak begitu tahu tentang berbagai operasi

                     itu secara detail karena kurangnya informasi ”, sahut leyden.


                   “Kak, sa jua tra tau soal itu”, ucap marti.


                   “ Jadi begini teman-teman, aku akan menceritakan semua yang ku ketahui kepada

                      Kalian. Yang pertama adalah operasi Sadar dengan wilayah operasi Manokwari

                      dan sorong, dalam operasi ini banyak torang pu sodara/I yang meninggal,

                      banyak juga perempuan papua yang dijadikan budak seks dan akhirnya dibunuh

                      dengan biadab, bahkan Gedung sekolah, rumah ibadah serta satu kampung

                      dibakar habis, tidak sampe situ, binatang serta harta kekayaan lainnya pun

                      dibasmi habis. Lalu ditempat berbeda yaitu di paniai, deiyai, dogiyai juga

                      terjadi operasi yang sama dilakukan oleh angkatan bersenjata republik

                      Indonesia, . Yang berikutnya adalah Operasi Tumpas, walayah operasinya biak

                      barat dan biak utara, pada operasi ini terjadi penembakan, penyiksahan,

                      penahanan, pemerkosan, serta penculikan, banyak pula perempuan yang

                      mengalami tindak kekerasan seksual dan akhirnya dibunuh. Selanjutnya adalah

                      sebuah operasi Pembunuhan massal yang terjadi dipegunungan tengah papua

                      yang menewaskan hampir 4 juta lebih masyarakat sipil, mulai dari bayi hingga

                     orang dewasa, dan dalam operasi ini pun tidak terlepas dari kasus penculikan,

                     pemusnahan harta benda, dan pemerkosaan. Berikutnya, operasi yang

                     menargetkan Thadeus Yogi, Pada operasi ini masyarakat sipil ditahan sampai

                    dibunuh dengan cara diikat dengan tali digantungkan kemudian besi yang sudah

                    dipanaskan/dibakar di api sampai merah, mereka masukan besi panas tersebut

                    dari pantat hingga keluar dimulut, mereka itu bukan lain, tong tete dong yang di

                    meewo. Jadi itu adalah beberapa kasus operasi militer yang aku ketahui, memang

                    kalau mau ditelusuri lagi maka banyak sekali kasus pelanggaran Hak Asasi

                    Manusia yang terjadi di torang pu tanah ini, dimulai dari tahun 1960 hingga saat

                    ini.” Ucapku mengahiri penuturanku tentang beberapa operasi militer yang sempat

                    ku dengar dari beberapa orang tua.


         Kemudian ku tuang kopi hitam kedalam gelas, lalu mengambil sebatang rokok surya Kecil, memasang api, lalu menghirup asap rokoknya dengan perlahan-lahan sambil mencoba membuang perih dalam benak mengingat banyak manusia papua yang sudah berpulang ke bapa di surga akibat ABRI yang dengan ganas membunuh, dan merampok serta memusnahkan segala sesuatu yang ada diatas tanah airku, bumi cendrawasih.


                “ sa jua ada sesuatu hal mengenai tong pu tanah yang harus sa ceritakan sama

                   teman-teman.” Ucap Leyden memecah kesunyian.


                “ Boleh, malah itu bagus, hitung-hitung kita mengenang nasip mengenaskan serta

                   sejarah hitam yang terjadi di tong pu tanah ini ”, kata Lukas yang sejak tadi

                   memang Nampak hanya diam sambil focus mendengarkan.


                 “ sa jua setuju sama kaka Lukas ”, ucap yosep menambahkan.

                 “ ok siap, sa akan cerita tentang beberapa hal yang sa tau saja ”. sambil menarik

                    rokok surya kecil yang dibalik jemarinya.


                 “ Jadi begini teman-teman, sa ada dengar dari kaka laki-laki satu toh, katanya

                    dijawa sana, kalau tidak salah di jogja, kos-kosan tidak menerima orang papua,

                    bayangkan masa mahasiswa papua di anggap apa coba, diperlakukan seperti

                    binatang. Tidak Cuma itu, kata kaka laki-laki, pernah ada seorang mahasiswa

                    papua yang sedang anyam noken di lingkungan kampus, lalu datang salah

                    seorang dosen, kemudian mengusirnya pulang dari lingkungan kampus.” Ucap

                    leyden sambil minum kopi hitam.

                   “ Tidak Cuma itu, kata kaka laki-laki, ketika mahasiswa papua ingin melakukan

                      aksi menuntut ketidakadilan yang terjadi pada rakyat papua, malah mereka

                      ditahan, dipukul serta mendapat cacian dan makian dari organisasi masyarakat

                      disana, dan aparat setempat.” Sambung leyden menuturkan apa yang dia dengar

                      dari kakak laki-lakinya yang juga kuliah di jawa.

           Perbincangan kami pun melebar, hingga banyak persoalan yang masing-masing kami ketahui, kami pun menceritakannya, berbagi satu sama lain, mencoba menelusuri kabut hitam yang coba ditutupi oleh para penjajah. Lalu karena aku sudah terlalu banyak minum kopi, bahkan hingga belasan gelas sehingga membuatku tidak bisa menahan air kecil maka aku pun minta ijin kebelakang meninggalkan mereka untuk melepas air kecil.

             Sesampainya aku di belakang sekolah, aku pun membuang air kecil ke semak-semak yang tumbuh dibelakang sekolah itu, usai itu, ketika aku mulai balik dan berjalan kembali melewati sudut sekolah maka aku tiba-tiba menabrak sesuatu hingga membuatku jatuh kesamping mencium tanah. Lalu dengan cepat aku berdiri, melihat apakah ada orang atau sesuatu benda yang ku tabrak tadi namun setelah ku periksa baik-baik ternyata tidak ada apapun, aku menjadi heran dan bingun, entah apa yang tadi ku tabrak itu.

             Selagi aku tenggelam dalam kebingunan, tiba-tiba ada suara ketawa yang merdu terdengar dari balik pepohonan yang tumbuh tak jauh dari semak-semak yang tadi sempat aku buang air kecil. Suara itu sangat nyaring, suara ketawa wanita, dan setelah usai suara ketawa wanita, disusul lagi terdengar suara ketawa pria. Ketika ku perhatikan dengan seksama kearah asal suara ketawa itu, tak terlihat sosok manusia, akan tetapi suara ketawa itu masih terdengar bahkan seakan-akan kadang didekat telingaku, lalu kembali terdengar lagi di tempat tadi.

              Bulu badanku merinding, sosok-sosok hantu yang sering ku tonton di Tv melintas dibenak, membuatku makin makin gugup karena takut. Lalu aku pun meninggalkan tempat itu, berlari kearah teman-temanku. Sesampainya disana, kuceritakan kejadian tadi kepada mereka.

             Kemudian, Lukas berpendapat bahwa suara ketawa itu tentu adalah hantu, namun leyden membantah itu. Menurut leyden itu adalah roh dari mereka yang telah dibunuh dengan biadab oleh aparat, mungkin mereka masih belum puas mati mengenaskan sehingga dimalam penting, dimana besok adalah momen paling special bagi orang papua, mereka pun sedang menyatakan diri bahwa roh kami pun masih belum tenang dialam sana.
           Lanjutnya lagi, Leyden mengatakan bahwa mungkin pula mereka hadir karena mendengar kisah mengenaskan tentang pembantai yang dilakukan oleh militer terhadap mereka tadi sempat kita singgung. Lalu berusaha menunjukan kepada kita bahwa pembantaian itu benar adanya, dan mereka adalah beberapa orang korban pembantaian itu.

           Usai itu, kami pun tidak terlalu mempersoalkan kehadiran mahluk-mahluk halus itu, kami melanjutkan diskusi kami tentang persoalan yang sempat tadi kami bahas itu hingga menjelang Pagi.

***



Bandung, 01/02/2019

Rabu, 30 Januari 2019

Cerpen : Mama Pahlawanku



Sumber pic : Mapio.net




              Tiba-tiba dari arah depan sebuah jalan raya, mobil avanza dengan laju sangat kencang menabrak mama yang saat itu sedang menyeberang kearahku berdiri. Percikan darah pun dengan cepat membekas di atas aspal, Mobil yang menabrak tubuh ibuku itu pun berhenti beberapa meter dari tempat mamaku tadinya terlihat melintas. Sekarang entah dimana, tubuh mamaku lenyap. Dengan perasaan ngeri bercampur hawatir dengan kondisi mamaku, aku pun dengan cepat berlari ke tempat percikan darah yang masih basah itu.

          “ mama, ko dimana?” ucapku dengan sangat gelisah.

          “ mama? ”, Ku panggil lagi, namun entah mengapa, tak ada balasan sama sekali. Aku makin  gelisah.

          “ Yuli, ko mama ada jatuh ke dalam parit ini ”, Ucap salah seorang teman mamaku yang kebetulan berada disitu pula.

          “ Mama, mama…!, ko trapapa toh ”, kataku mencoba meyakinkan diriku bahwa mamaku baik-baik saja.

           Ku angkat tubuh mamaku yang terbaring di parit sebelah jalan. Darah sudah mengubah wajah mama hingga tidak berbentuk lagi, lalu ku coba pegang denyut nadi mama, dan ternyata denyut nadinya tidak menunjukan reaksi apapun.

            “ mama, ko tra usah pi kastinggal yuli ”, seruku. Aku kaget, dan sedetik kemudian aku merasa semuanya gelap.
             “ Mama….! ”, sontak aku kaget berdiri, lalu ku coba arahkan mataku, namun mama sudah tidak ada, sebaliknya aku malah berada diatas tempat tidurku. Kemudian kucoba tenangkan diri, lalu mencoba menjernihkan pikiranku, dan mencoba menyadari apa yang sebenarnya sudah terjadi hingga akhirnya aku sadar bahwa tadi itu aku bermimpi.

             Setelah tahu bahwa ternyata itu hanyalah mimpi maka dengan gelisah ku keluar dari kamar dan menuju ke kamar tamu. Ketika ku lirik jam dinding yang tergantung, ternyata jam menunjukan pukul lima sore. Kemudian aku kearah dapur yang terletak dibelakang, sesampainya disana. Disana tak ada siapapun.

            “ adooh mama deng bapa ni kemana, su mo malam baro belum pulang ”, ucapku seorang diri.

             Suasana makin gelap, ku nyalakan lampu pelita. Mama dan bapa masih belum juga pulang, membuat aku makin hawatir. Mimpi yang tadi ku lihat terus saja mengganggu pikiranku. Lalu setelah beberapa menit kemudian pintu dapur diketuk, dan aku pun membukanya. Ternyata mama, aku lansung memeluknya. Mama Nampak terkejut ketika ku peluk.

            “ yuli, ko kenapa? ”, mama bertanya dengan nada heran.
            “ mama tadi sa mimpi buruk ”, ucapku tanpa melepaskan pelukanku pada mama.

            “ yuli, biarkan mama duduk dulu, baru ko cerita.” Sambil melepaskan pelukan ku.

              Setelah itu mama duduk, dan mama memintaku untuk menceritakannya, lalu aku pun menceritakan mimpi itu, menceritakan sedetail mungkin. Kemudian mama akhirnya mendekat kearahku dan memelukku “ Sudah tak usah ko pikirkan ”, kata mamaku dengan nada menghibur dan meyakinkanku bahwa mama tidak apa-apa dan tidak akan terjadi apa-apa sama mama.

               Kemudian mama menyiapkanku makan, lalu aku pun makan, usai itu mama memintaku untuk kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas sekolah serta belajar kemudian tidur. Aku pun akhirnya menuruti kata-kata mama, kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas, lalu tidur.

***

             Setiap kali mama pergi dengan noken besarnya, aku selalu memintanya untuk ikut namun mama tak pernah mengiyakan aku untuk ikut. Noken besar itu mama selalu isi dengan beberapa macam sayuran yang mama ikat rapih, sayuran itu mama pagi-pagi sekali ambil dari kebun yang jaraknya sekitar 5 KM dari rumah. Usai mama membawa noken besar itu entah kemana, ketika pulang sayuran yang mama isi dalam noken besar itu selalu saja kosong. Kadang aku bingun, entah mama memberinya kepada siapa atau mama melakukan apa terhadap sayur-sayuran yang mama bawah itu sehingga ketika pulang ku dapati tak ada lagi.

               Kadang mama pulang dengan membelikanku beberapa cemilan, kadang pula manisan tapi ku tahu bahwa mama ketika pergi tak pernah membawa uang sama sekali. Semua itu membuatku bingun. Aku tak tahu sama sekali pekerjaan apa yang mama kerjakan, karena aku selalu dilarang ikut.

               Siang itu, rasa penasaranku memang tak bisa lagi diajak kompromi, aku sudah bertekat akan mengikuti mama dari belakang, aku ingin tahu apa yang sebenarnya mama lakukan. Lalu ketika ku tengok, mama lagi bersiap-siap, kemudian memanggul noken besar itu dan beranjak keluar dari rumah dan  aku pun mengikutinya.

               Akhirnya mama berhenti di sebuah pasar, lalu menurunkan nokennya disamping teman mamaku yang tempo dulu dalam mimpiku menemukan mama dalam parit. Teman mamaku itu membantu mama, lalu dari dalam noken, mama mengeluarkan sebuah karung bekas yang selama ini tak pernah kuperhatikan bahwa karung itu selalu berada dalam noken mama. Mama kemudian mengeluarkan beberapa ikat sayuran, lalu meletakannya dengan rapih diatas karung bekas itu, sedangkan mama duduk diatas tanah tanpa alas sama sekali.

                Aku masih terus mengintai dari jauh, melihat semua dengan penuh perhatian. Kemudian ada beberapa orang datang menghapiri mama, lalu berbincang dengan mama, ada yang mengeluarkan sesuatu dari dalam noken mereka lalu menyerahkan pada mama, lalu mama pun membalasnya dengan memberikan seikat atau kadang dua ikat sayuran yang mama letakan diatas karung.

                 Ketika kendaraan beroda dua maupun empat melewati pasar, selalu saja kendaraan-kendaraan itu meninggalkan bekas debu yang berterbangan, kondisi mama ketika debu mengenai raut wajah yang tua itu sangat memprihatinkan. Raut wajah mama yang selalu cerah kehilangan pacaran cahaya keibuannya. Debu mengubah raut wajah mama, bahkan mengubah kesegaran sayur-sayuran yang mama letakan diatas tikar karung, lalu bajunya pun hilang warnanya ditelang debu.

             Melihat semua itu mengiris hatiku, Ingin ku berteriak sekerasnya pada pemilik hidup, kenapa kehidupan begitu kejam sehingga mama mengalami nasip yang sangat buruk. Lalu aku kini baru menyadari bahwa mama sering pulang agak malam serta kasus sayur-sayuran yang sering ku pertanyakan itu ternyata karena mama berjualan, semua itu demi aku, demi keluargaku. Menyadari akan hal itu, membuatku bangga bercampur sedih, aku bangga pada mama yang menjadi pahlawan dalam hidupku dengan mengorbankan keringat dan tenaganya, kemudian aku pun sedih melihat nasip mama yang harus berjualan diatas tanah berdebu, bahkan mungkin pula diatas tanah becek ketika hujan.

            Lalu untuk siapa Gedung pasar itu, pertanyaan itu selintas muncul dalam benakku, dan memaksaku untuk mendekat kearah Gedung pasar itu, kemudian aku pun dengan pelan-pelan mendekati Gedung itu, berjalan dengan hati-hati, takut ketahuan mama. Sesampainya di Gedung itu, didalam Gedung megah itu banyak orang sedang nampak berjualan. Setelah berkeliling ke seluruh area Gedung, sebuah hal yang membuatku heran bercampur marah adalah kenyataan bahwa yang ada didalam Gedung pasar itu adalah orang-orang asing, orang yang bukan dari tanah kelahiranku, mereka semua adalah orang-orang luar yang datang sekedar mengaduh nasip, serta mencari peruntungan.

             Siapakah mereka sehingga tempat yang layak seakan menjadi hak mereka, lalu mama-mamaku yang diluar sana berjualan diatas tanah berdebu itu siapa?, seakan-akan mama-mamaku yang diluar sana adalah perantau yang di geser dari tempat yang layak, seakan-akan mama-mamaku bukan manusia. Apa yang kulihat dengan mata yang bisu ini membuatku harus mengucap rasa dengan air mata.
               Ketika menyadari semua kenyataan yang mengiris mata hati itu, aku tanpa menghiraukan orang-orang yang berada di sekelilingku berlari pulang. Aku benar-benar tak kuasa lagi melihat ketidakadilan yang dirasakan oleh mama-mamaku itu. Semua itu menjadi mata pisau yang tajam, mengirisku tanpa ampun. Tuhan siapakah kami?

***



              Hari sudah mulai gelap, bahkan suara jangkrik terdengar seperti paduan suara yang sedang melagukan kepedihan yang lahir dari ketidakadilan. Ketidakadilan telah tumbuh subur sejak lama di negeriku yang penuh dusta nestapa. Kami tidur diatas Emas, kami berenang diatas minyak tapi semua itu bukan kami punya, sebuah lirik lagu yang sering bapa putar di speaker tua miliknya. Lansung ku ingat lagu itu ketika ingatanku kembali ke pasar, kejadian yang baru ku alami siang tadi.

             Mama masih belum pulang dari pasar, entah kenapa, aku masih tidak bisa sabar menunggunya. Aku ingin segera bertanya pada mama, kenapa Gedung pasar yang megah itu telah bersarang mahluk asing, orang-orang yang tidak kukenali, orang-orang yang entah berasal dari mana?, orang-orang yang membuat mama harus duduk diatas tanah berdebu itu.

             Setelah setengah jam kemudian, suara mama terdengar dari luar rumah, dan aku tahu bahwa itu mama yang sudah pulang dari pasar yang tidak punya keadilan. Lalu mama yang seperti biasanya datang dengan raut wajah penuh senyuman itu masuk melalui pintu dapur, namun tidak dengan aku yang sedang menunggunya, raut wajahku sudah berubah sejak kepulanganku dari pasar tadi, kekecewaan telah bersarang di benakku.
             “ mama sa ada mo tanya sesuatu? ”, ucapku sambil menahan nafas
             “ nanti sa bilang sebentar, sekarang mama istrahat dulu ”, sambungku.

             “ Yuli, mo bilang apa? ”, kata mama.
             “ sebentar saja mama”, Balasku.

             “ iyo sudah ”. sahut mama. Mama meletakan noken besar itu kemudian lalu keluar ke belakang, lalu membasuh mukanya dengan air, lalu masuk lagi dan lansung duduk didekat tungku api, memasukan kayu bakar, hingga kayu bakar yang sudah kering itu habis di lahap api. Ketika kayu-kayu itu habis dilahap api dan hanya meninggalkan bara maka mama memasukan ubi, lalu membakarnya dengan bara api.

               “ mama sa mo tanya?”, ucapku tanpa mengalihkan perhatianku kepada mama yang dengan tangguhnya memasak ubi itu.

                “ iyo, mo tanya apa ”, ucap mama.
                “ mama, tadi dari pasar toh, dan selama ini mama berjualan toh”.

                 “ oh jadi tadi ko ada ikut mama diam-diam”.

                 “ io mama, sa ada ikut dari belakang dan selama ini mama kenapa tra pernah ajak 

                    sa ikut dan selalu larang sa kalau mo ikut? ”, dengan nada agak kecewa.

                  “ Mama tra pernah mo ajak ko tuh karna mama tau ko pasti bosan kalau ikut

                     Mama, serta tadi ko su lihat sendiri toh kondisi pasarnya, memangnya ko juga

                     mo duduk diatas tanah begitu ”. ucap mama sambil memandangku.

         Ucapan itu membuatku terdiam, memang apa yang mama sampaikan ada benarnya. Tentu saja bila aku ikut mama ke pasar dan hanya duduk menunggu mama jualan. Itu pasti sangat membosankan.

                      “ mama, lalu gedung pasar yang sebelah tempat mama jualan itu, kenapa malah

                         Orang-orang asing yang jualan disana? ”, tanyaku pada mama.
                       “ itu betul yuli, memang pasar sudah dikuasai oleh orang-orang pendatang dan

                          Mengenai hak kami mama-mama soal pasar, kami sempat datangi

                          pemerintah daerah untuk minta disediakan untuk kami tempat berjualan

                          namun masih belum ada respon ”. ucap mama dengan nada yang penuh

                          harapan.

            Aku terdiam mendengar apa yang mama utarakan. Bila memang begitu persoalannya maka yang harus disalah itu siapa, apakah para mendatang yang sudah menguasai pasarnya mama ataukah pemerintah daerah yang seakan-seakan buta melihat penderitaan mama-mama diatas tanah air mereka sendiri.

             Ungkapan mama yang hanya sepatah kata, namun bagiku sepatah kata itu saja sudah cukup membuka mataku, betapa ketidakadilan tercipta dalam lingkup kehidupan mama-mama yang patut aku sebut pahlawan. Mereka tiap hari pergi ke pasar dengan membawa hasil kebun. Berjualan dibawah panasnya terik matahari yang membakar kulit mereka. Berusaha bertahan dari terpaan debu yang bisa mengakibatkan flu, ataupun mendatang penyakit-penyakit yang berbahaya bagi tubuh mereka. Mungkin kebanyakan orang melihat hal itu biasa saja, sebab mereka melihat aktifitas itu terjadi setiap harinya, namun tidak bagiku, bagiku itu adalah masalah. Masalah yang telah menjelma menjadi sebuah kebiasaan. Dan kebiasan buruk itu musti di musnahkan, kelayakan akan tempat mereka berjualan harus dipenuhi selayak manusia sebab mereka bukanlah hewan.

              Semua hal itu terus menggangguku, mengganggu daya pikirku, betapa demi uang recehan, mama berjualan dengan tujuan menghidupiku selayaknya mereka yang hidup berkecukupan, menyekolahkanku dengan harapan melihat kembali perjuangan mama yang rela duduk diatas tanah tanpa alas sedikitpun.

              Sungguh semua itu kusimpan rapat di ingatan, kelak aku ingin mengubah gaya hidup yang tidak adil, aku ingin menghapus semua ketidakadilan itu. Lalu dengan perlahan-lahan ku tutup mataku, dan akhirnya terlelap dalam mimpi.

                Keesokan harinya, dengan mantap ku kenakan pakaian seragam sekolah, lalu ku ambil tas yang sejak kemarin sudah ku isi buku tulis dan pena, kemudian aku beranjak ke sekolah. Selama dalam perjalananku kesekolah, aku mulai berpikir tentang pengalaman serta pemahaman baru yang sempat ku terima kemarin. Satu hal pasti yang ku pikirkan adalah menceritakan semua yang baru ku ketahui kemarin itu kepada teman-temanku, aku ingin mereka pun paham bahwa mama-mama kami diperlakukan secara tidak adil, dipinggirkan dari dunia pasar.

                Pada ahirnya aku pun sampai disekolah, kemudian aku mengikuti apel pagi, lalu lanjut masuk ke kelas, sesampainya dikelas, sebelum guru mata pelajaran ekonomi masuk, aku menceritakan semua yang kemarin ku alami dan ku pikirkan kepada teman-temanku.

                “ ah itu betul yuli.” ucap agus yang dengan tenang mendengarkanku sejak tadi.

                “ menurutku, kita harus tanya sama pak joni, kan dia guru mata pelajaran ekonomi

                   serta kebetulan juga pas sebentar dia akan masuk di jam pertama ”, Yuni yang

                   sejak tadi diam itu mengusulkan.

                 “ nah, itu dia yang sa ada pikirkan ”, kataku membalas ucapan yuni.

                 “ boleh nanti kita tanya”, kata riko yang memang tidak diragukan soal tanya

                    menanya dengan guru di dalam kelas.

               Kemudian beberapa menit kemudian, pak joni akhirnya masuk ke kelas kami untuk memberikan pelajaran ekonomi. Lalu setelah apsen dijalankan, pak joni lanjut memberi kami materi tentang ekonomi yang memang kami akui sangat asing. Banyak teori ekonomi yang pak joni ajarkan, tapi jujur saja, tak satu pun yang ku pahami, bahkan aku yakin sedikitpun tak masuk dalam otakku yang standar-standar saja.

              Hingga pada akhirnya pak joni menyinggung soal pasar, dan itulah yang menarik bagiku. Kemudian teman kelasku, si riko akhirnya mengajukan pertanyaan tentang apa yang tadi sempat ku ceritakan.

               Lalu pak joni menjelaskan kepada kami tentang pasar membuat kami harus memasang perhatian penuh mendengarkan penjelasannya.

                “ jadi anak-anak, menurut pemahaman bapa, pasar adalah sebuah tempat dimana

                   terjadinya proses teransaksi antara penjual dan pembeli, itu pandangan secara  

                   umumnya. Namun adanya pasar tidaklah sesederhana itu, akan tetapi karena ini

                   menyangkut mama-mama kita yang disingkir dari keberadaan pasar maka baiklah

                   bapa akan perjelas saja tentang pasar itu dalam lingkungan kita sesuai dengan

                   pemahaman bapa ”, ucap pak joni sambil mengambil nafas, seakan-akan

                   mengumpulkan semua ingatannya tentang pasar.



                “ Nah, jadi pasar sebenarnya hadir sebagai wadah untuk masyarakat guna dapat

                   menjual dan membeli barang, misalnya ubi, sayur-sayuran atau lainnya sehingga

                   memang tidak salah bila tadi kalian sempat menanyakannya. Lalu pasti kalian

                   pun bertanya mengapa monopoli pasar itu terjadi. Hal ini terjadi karena pasar

                   sudah dikuasai oleh pemodal, para pemodal ini menguasai pasar dengan

                   mendapatkan tempat transaksi jaul beli yang layak, kadang dengan membayar

                   kepada para pejabat setempat atau kepada siapa pun dia yang dianggap memiliki

                   kuasa terhadap pasar tersebut. Jadi tersingkirnya mama-mama kita dari pasar itu

                   pun akibat dari hal yang bapa ada sampaikan barusan.” Katanya mengahiri

                   penjelasannya yang singkat itu.

           Setelah mendengar penjelasan pak joni, kini barulah aku paham bahwa penderitaan yang mama-mama kami alami itu akibat dari para pemodal dan para pejabat yang korup itu. Mereka sungguh tidak punya akal, mereka memang tidak punya belas kasihan, membuat mama-mama kami harus menderita.



***





Bandung, 31/01/2019