Rabu, 30 Januari 2019

Cerpen : Mama Pahlawanku



Sumber pic : Mapio.net




              Tiba-tiba dari arah depan sebuah jalan raya, mobil avanza dengan laju sangat kencang menabrak mama yang saat itu sedang menyeberang kearahku berdiri. Percikan darah pun dengan cepat membekas di atas aspal, Mobil yang menabrak tubuh ibuku itu pun berhenti beberapa meter dari tempat mamaku tadinya terlihat melintas. Sekarang entah dimana, tubuh mamaku lenyap. Dengan perasaan ngeri bercampur hawatir dengan kondisi mamaku, aku pun dengan cepat berlari ke tempat percikan darah yang masih basah itu.

          “ mama, ko dimana?” ucapku dengan sangat gelisah.

          “ mama? ”, Ku panggil lagi, namun entah mengapa, tak ada balasan sama sekali. Aku makin  gelisah.

          “ Yuli, ko mama ada jatuh ke dalam parit ini ”, Ucap salah seorang teman mamaku yang kebetulan berada disitu pula.

          “ Mama, mama…!, ko trapapa toh ”, kataku mencoba meyakinkan diriku bahwa mamaku baik-baik saja.

           Ku angkat tubuh mamaku yang terbaring di parit sebelah jalan. Darah sudah mengubah wajah mama hingga tidak berbentuk lagi, lalu ku coba pegang denyut nadi mama, dan ternyata denyut nadinya tidak menunjukan reaksi apapun.

            “ mama, ko tra usah pi kastinggal yuli ”, seruku. Aku kaget, dan sedetik kemudian aku merasa semuanya gelap.
             “ Mama….! ”, sontak aku kaget berdiri, lalu ku coba arahkan mataku, namun mama sudah tidak ada, sebaliknya aku malah berada diatas tempat tidurku. Kemudian kucoba tenangkan diri, lalu mencoba menjernihkan pikiranku, dan mencoba menyadari apa yang sebenarnya sudah terjadi hingga akhirnya aku sadar bahwa tadi itu aku bermimpi.

             Setelah tahu bahwa ternyata itu hanyalah mimpi maka dengan gelisah ku keluar dari kamar dan menuju ke kamar tamu. Ketika ku lirik jam dinding yang tergantung, ternyata jam menunjukan pukul lima sore. Kemudian aku kearah dapur yang terletak dibelakang, sesampainya disana. Disana tak ada siapapun.

            “ adooh mama deng bapa ni kemana, su mo malam baro belum pulang ”, ucapku seorang diri.

             Suasana makin gelap, ku nyalakan lampu pelita. Mama dan bapa masih belum juga pulang, membuat aku makin hawatir. Mimpi yang tadi ku lihat terus saja mengganggu pikiranku. Lalu setelah beberapa menit kemudian pintu dapur diketuk, dan aku pun membukanya. Ternyata mama, aku lansung memeluknya. Mama Nampak terkejut ketika ku peluk.

            “ yuli, ko kenapa? ”, mama bertanya dengan nada heran.
            “ mama tadi sa mimpi buruk ”, ucapku tanpa melepaskan pelukanku pada mama.

            “ yuli, biarkan mama duduk dulu, baru ko cerita.” Sambil melepaskan pelukan ku.

              Setelah itu mama duduk, dan mama memintaku untuk menceritakannya, lalu aku pun menceritakan mimpi itu, menceritakan sedetail mungkin. Kemudian mama akhirnya mendekat kearahku dan memelukku “ Sudah tak usah ko pikirkan ”, kata mamaku dengan nada menghibur dan meyakinkanku bahwa mama tidak apa-apa dan tidak akan terjadi apa-apa sama mama.

               Kemudian mama menyiapkanku makan, lalu aku pun makan, usai itu mama memintaku untuk kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas sekolah serta belajar kemudian tidur. Aku pun akhirnya menuruti kata-kata mama, kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas, lalu tidur.

***

             Setiap kali mama pergi dengan noken besarnya, aku selalu memintanya untuk ikut namun mama tak pernah mengiyakan aku untuk ikut. Noken besar itu mama selalu isi dengan beberapa macam sayuran yang mama ikat rapih, sayuran itu mama pagi-pagi sekali ambil dari kebun yang jaraknya sekitar 5 KM dari rumah. Usai mama membawa noken besar itu entah kemana, ketika pulang sayuran yang mama isi dalam noken besar itu selalu saja kosong. Kadang aku bingun, entah mama memberinya kepada siapa atau mama melakukan apa terhadap sayur-sayuran yang mama bawah itu sehingga ketika pulang ku dapati tak ada lagi.

               Kadang mama pulang dengan membelikanku beberapa cemilan, kadang pula manisan tapi ku tahu bahwa mama ketika pergi tak pernah membawa uang sama sekali. Semua itu membuatku bingun. Aku tak tahu sama sekali pekerjaan apa yang mama kerjakan, karena aku selalu dilarang ikut.

               Siang itu, rasa penasaranku memang tak bisa lagi diajak kompromi, aku sudah bertekat akan mengikuti mama dari belakang, aku ingin tahu apa yang sebenarnya mama lakukan. Lalu ketika ku tengok, mama lagi bersiap-siap, kemudian memanggul noken besar itu dan beranjak keluar dari rumah dan  aku pun mengikutinya.

               Akhirnya mama berhenti di sebuah pasar, lalu menurunkan nokennya disamping teman mamaku yang tempo dulu dalam mimpiku menemukan mama dalam parit. Teman mamaku itu membantu mama, lalu dari dalam noken, mama mengeluarkan sebuah karung bekas yang selama ini tak pernah kuperhatikan bahwa karung itu selalu berada dalam noken mama. Mama kemudian mengeluarkan beberapa ikat sayuran, lalu meletakannya dengan rapih diatas karung bekas itu, sedangkan mama duduk diatas tanah tanpa alas sama sekali.

                Aku masih terus mengintai dari jauh, melihat semua dengan penuh perhatian. Kemudian ada beberapa orang datang menghapiri mama, lalu berbincang dengan mama, ada yang mengeluarkan sesuatu dari dalam noken mereka lalu menyerahkan pada mama, lalu mama pun membalasnya dengan memberikan seikat atau kadang dua ikat sayuran yang mama letakan diatas karung.

                 Ketika kendaraan beroda dua maupun empat melewati pasar, selalu saja kendaraan-kendaraan itu meninggalkan bekas debu yang berterbangan, kondisi mama ketika debu mengenai raut wajah yang tua itu sangat memprihatinkan. Raut wajah mama yang selalu cerah kehilangan pacaran cahaya keibuannya. Debu mengubah raut wajah mama, bahkan mengubah kesegaran sayur-sayuran yang mama letakan diatas tikar karung, lalu bajunya pun hilang warnanya ditelang debu.

             Melihat semua itu mengiris hatiku, Ingin ku berteriak sekerasnya pada pemilik hidup, kenapa kehidupan begitu kejam sehingga mama mengalami nasip yang sangat buruk. Lalu aku kini baru menyadari bahwa mama sering pulang agak malam serta kasus sayur-sayuran yang sering ku pertanyakan itu ternyata karena mama berjualan, semua itu demi aku, demi keluargaku. Menyadari akan hal itu, membuatku bangga bercampur sedih, aku bangga pada mama yang menjadi pahlawan dalam hidupku dengan mengorbankan keringat dan tenaganya, kemudian aku pun sedih melihat nasip mama yang harus berjualan diatas tanah berdebu, bahkan mungkin pula diatas tanah becek ketika hujan.

            Lalu untuk siapa Gedung pasar itu, pertanyaan itu selintas muncul dalam benakku, dan memaksaku untuk mendekat kearah Gedung pasar itu, kemudian aku pun dengan pelan-pelan mendekati Gedung itu, berjalan dengan hati-hati, takut ketahuan mama. Sesampainya di Gedung itu, didalam Gedung megah itu banyak orang sedang nampak berjualan. Setelah berkeliling ke seluruh area Gedung, sebuah hal yang membuatku heran bercampur marah adalah kenyataan bahwa yang ada didalam Gedung pasar itu adalah orang-orang asing, orang yang bukan dari tanah kelahiranku, mereka semua adalah orang-orang luar yang datang sekedar mengaduh nasip, serta mencari peruntungan.

             Siapakah mereka sehingga tempat yang layak seakan menjadi hak mereka, lalu mama-mamaku yang diluar sana berjualan diatas tanah berdebu itu siapa?, seakan-akan mama-mamaku yang diluar sana adalah perantau yang di geser dari tempat yang layak, seakan-akan mama-mamaku bukan manusia. Apa yang kulihat dengan mata yang bisu ini membuatku harus mengucap rasa dengan air mata.
               Ketika menyadari semua kenyataan yang mengiris mata hati itu, aku tanpa menghiraukan orang-orang yang berada di sekelilingku berlari pulang. Aku benar-benar tak kuasa lagi melihat ketidakadilan yang dirasakan oleh mama-mamaku itu. Semua itu menjadi mata pisau yang tajam, mengirisku tanpa ampun. Tuhan siapakah kami?

***



              Hari sudah mulai gelap, bahkan suara jangkrik terdengar seperti paduan suara yang sedang melagukan kepedihan yang lahir dari ketidakadilan. Ketidakadilan telah tumbuh subur sejak lama di negeriku yang penuh dusta nestapa. Kami tidur diatas Emas, kami berenang diatas minyak tapi semua itu bukan kami punya, sebuah lirik lagu yang sering bapa putar di speaker tua miliknya. Lansung ku ingat lagu itu ketika ingatanku kembali ke pasar, kejadian yang baru ku alami siang tadi.

             Mama masih belum pulang dari pasar, entah kenapa, aku masih tidak bisa sabar menunggunya. Aku ingin segera bertanya pada mama, kenapa Gedung pasar yang megah itu telah bersarang mahluk asing, orang-orang yang tidak kukenali, orang-orang yang entah berasal dari mana?, orang-orang yang membuat mama harus duduk diatas tanah berdebu itu.

             Setelah setengah jam kemudian, suara mama terdengar dari luar rumah, dan aku tahu bahwa itu mama yang sudah pulang dari pasar yang tidak punya keadilan. Lalu mama yang seperti biasanya datang dengan raut wajah penuh senyuman itu masuk melalui pintu dapur, namun tidak dengan aku yang sedang menunggunya, raut wajahku sudah berubah sejak kepulanganku dari pasar tadi, kekecewaan telah bersarang di benakku.
             “ mama sa ada mo tanya sesuatu? ”, ucapku sambil menahan nafas
             “ nanti sa bilang sebentar, sekarang mama istrahat dulu ”, sambungku.

             “ Yuli, mo bilang apa? ”, kata mama.
             “ sebentar saja mama”, Balasku.

             “ iyo sudah ”. sahut mama. Mama meletakan noken besar itu kemudian lalu keluar ke belakang, lalu membasuh mukanya dengan air, lalu masuk lagi dan lansung duduk didekat tungku api, memasukan kayu bakar, hingga kayu bakar yang sudah kering itu habis di lahap api. Ketika kayu-kayu itu habis dilahap api dan hanya meninggalkan bara maka mama memasukan ubi, lalu membakarnya dengan bara api.

               “ mama sa mo tanya?”, ucapku tanpa mengalihkan perhatianku kepada mama yang dengan tangguhnya memasak ubi itu.

                “ iyo, mo tanya apa ”, ucap mama.
                “ mama, tadi dari pasar toh, dan selama ini mama berjualan toh”.

                 “ oh jadi tadi ko ada ikut mama diam-diam”.

                 “ io mama, sa ada ikut dari belakang dan selama ini mama kenapa tra pernah ajak 

                    sa ikut dan selalu larang sa kalau mo ikut? ”, dengan nada agak kecewa.

                  “ Mama tra pernah mo ajak ko tuh karna mama tau ko pasti bosan kalau ikut

                     Mama, serta tadi ko su lihat sendiri toh kondisi pasarnya, memangnya ko juga

                     mo duduk diatas tanah begitu ”. ucap mama sambil memandangku.

         Ucapan itu membuatku terdiam, memang apa yang mama sampaikan ada benarnya. Tentu saja bila aku ikut mama ke pasar dan hanya duduk menunggu mama jualan. Itu pasti sangat membosankan.

                      “ mama, lalu gedung pasar yang sebelah tempat mama jualan itu, kenapa malah

                         Orang-orang asing yang jualan disana? ”, tanyaku pada mama.
                       “ itu betul yuli, memang pasar sudah dikuasai oleh orang-orang pendatang dan

                          Mengenai hak kami mama-mama soal pasar, kami sempat datangi

                          pemerintah daerah untuk minta disediakan untuk kami tempat berjualan

                          namun masih belum ada respon ”. ucap mama dengan nada yang penuh

                          harapan.

            Aku terdiam mendengar apa yang mama utarakan. Bila memang begitu persoalannya maka yang harus disalah itu siapa, apakah para mendatang yang sudah menguasai pasarnya mama ataukah pemerintah daerah yang seakan-seakan buta melihat penderitaan mama-mama diatas tanah air mereka sendiri.

             Ungkapan mama yang hanya sepatah kata, namun bagiku sepatah kata itu saja sudah cukup membuka mataku, betapa ketidakadilan tercipta dalam lingkup kehidupan mama-mama yang patut aku sebut pahlawan. Mereka tiap hari pergi ke pasar dengan membawa hasil kebun. Berjualan dibawah panasnya terik matahari yang membakar kulit mereka. Berusaha bertahan dari terpaan debu yang bisa mengakibatkan flu, ataupun mendatang penyakit-penyakit yang berbahaya bagi tubuh mereka. Mungkin kebanyakan orang melihat hal itu biasa saja, sebab mereka melihat aktifitas itu terjadi setiap harinya, namun tidak bagiku, bagiku itu adalah masalah. Masalah yang telah menjelma menjadi sebuah kebiasaan. Dan kebiasan buruk itu musti di musnahkan, kelayakan akan tempat mereka berjualan harus dipenuhi selayak manusia sebab mereka bukanlah hewan.

              Semua hal itu terus menggangguku, mengganggu daya pikirku, betapa demi uang recehan, mama berjualan dengan tujuan menghidupiku selayaknya mereka yang hidup berkecukupan, menyekolahkanku dengan harapan melihat kembali perjuangan mama yang rela duduk diatas tanah tanpa alas sedikitpun.

              Sungguh semua itu kusimpan rapat di ingatan, kelak aku ingin mengubah gaya hidup yang tidak adil, aku ingin menghapus semua ketidakadilan itu. Lalu dengan perlahan-lahan ku tutup mataku, dan akhirnya terlelap dalam mimpi.

                Keesokan harinya, dengan mantap ku kenakan pakaian seragam sekolah, lalu ku ambil tas yang sejak kemarin sudah ku isi buku tulis dan pena, kemudian aku beranjak ke sekolah. Selama dalam perjalananku kesekolah, aku mulai berpikir tentang pengalaman serta pemahaman baru yang sempat ku terima kemarin. Satu hal pasti yang ku pikirkan adalah menceritakan semua yang baru ku ketahui kemarin itu kepada teman-temanku, aku ingin mereka pun paham bahwa mama-mama kami diperlakukan secara tidak adil, dipinggirkan dari dunia pasar.

                Pada ahirnya aku pun sampai disekolah, kemudian aku mengikuti apel pagi, lalu lanjut masuk ke kelas, sesampainya dikelas, sebelum guru mata pelajaran ekonomi masuk, aku menceritakan semua yang kemarin ku alami dan ku pikirkan kepada teman-temanku.

                “ ah itu betul yuli.” ucap agus yang dengan tenang mendengarkanku sejak tadi.

                “ menurutku, kita harus tanya sama pak joni, kan dia guru mata pelajaran ekonomi

                   serta kebetulan juga pas sebentar dia akan masuk di jam pertama ”, Yuni yang

                   sejak tadi diam itu mengusulkan.

                 “ nah, itu dia yang sa ada pikirkan ”, kataku membalas ucapan yuni.

                 “ boleh nanti kita tanya”, kata riko yang memang tidak diragukan soal tanya

                    menanya dengan guru di dalam kelas.

               Kemudian beberapa menit kemudian, pak joni akhirnya masuk ke kelas kami untuk memberikan pelajaran ekonomi. Lalu setelah apsen dijalankan, pak joni lanjut memberi kami materi tentang ekonomi yang memang kami akui sangat asing. Banyak teori ekonomi yang pak joni ajarkan, tapi jujur saja, tak satu pun yang ku pahami, bahkan aku yakin sedikitpun tak masuk dalam otakku yang standar-standar saja.

              Hingga pada akhirnya pak joni menyinggung soal pasar, dan itulah yang menarik bagiku. Kemudian teman kelasku, si riko akhirnya mengajukan pertanyaan tentang apa yang tadi sempat ku ceritakan.

               Lalu pak joni menjelaskan kepada kami tentang pasar membuat kami harus memasang perhatian penuh mendengarkan penjelasannya.

                “ jadi anak-anak, menurut pemahaman bapa, pasar adalah sebuah tempat dimana

                   terjadinya proses teransaksi antara penjual dan pembeli, itu pandangan secara  

                   umumnya. Namun adanya pasar tidaklah sesederhana itu, akan tetapi karena ini

                   menyangkut mama-mama kita yang disingkir dari keberadaan pasar maka baiklah

                   bapa akan perjelas saja tentang pasar itu dalam lingkungan kita sesuai dengan

                   pemahaman bapa ”, ucap pak joni sambil mengambil nafas, seakan-akan

                   mengumpulkan semua ingatannya tentang pasar.



                “ Nah, jadi pasar sebenarnya hadir sebagai wadah untuk masyarakat guna dapat

                   menjual dan membeli barang, misalnya ubi, sayur-sayuran atau lainnya sehingga

                   memang tidak salah bila tadi kalian sempat menanyakannya. Lalu pasti kalian

                   pun bertanya mengapa monopoli pasar itu terjadi. Hal ini terjadi karena pasar

                   sudah dikuasai oleh pemodal, para pemodal ini menguasai pasar dengan

                   mendapatkan tempat transaksi jaul beli yang layak, kadang dengan membayar

                   kepada para pejabat setempat atau kepada siapa pun dia yang dianggap memiliki

                   kuasa terhadap pasar tersebut. Jadi tersingkirnya mama-mama kita dari pasar itu

                   pun akibat dari hal yang bapa ada sampaikan barusan.” Katanya mengahiri

                   penjelasannya yang singkat itu.

           Setelah mendengar penjelasan pak joni, kini barulah aku paham bahwa penderitaan yang mama-mama kami alami itu akibat dari para pemodal dan para pejabat yang korup itu. Mereka sungguh tidak punya akal, mereka memang tidak punya belas kasihan, membuat mama-mama kami harus menderita.



***





Bandung, 31/01/2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar