Sumber pic : Mapio.net |
Tiba-tiba dari arah depan sebuah jalan raya, mobil
avanza dengan laju sangat kencang menabrak mama yang saat itu sedang
menyeberang kearahku berdiri. Percikan darah pun dengan cepat membekas di atas
aspal, Mobil yang menabrak tubuh ibuku itu pun berhenti beberapa meter dari
tempat mamaku tadinya terlihat melintas. Sekarang entah dimana, tubuh mamaku
lenyap. Dengan perasaan ngeri bercampur hawatir dengan kondisi mamaku, aku pun
dengan cepat berlari ke tempat percikan darah yang masih basah itu.
“ mama, ko dimana?” ucapku dengan
sangat gelisah.
“ mama? ”, Ku panggil lagi, namun
entah mengapa, tak ada balasan sama sekali. Aku makin gelisah.
“ Yuli, ko mama ada jatuh ke dalam
parit ini ”, Ucap salah seorang teman mamaku yang kebetulan berada disitu pula.
“ Mama, mama…!, ko trapapa toh ”,
kataku mencoba meyakinkan diriku bahwa mamaku baik-baik saja.
Ku angkat tubuh mamaku yang
terbaring di parit sebelah jalan. Darah sudah mengubah wajah mama hingga tidak
berbentuk lagi, lalu ku coba pegang denyut nadi mama, dan ternyata denyut
nadinya tidak menunjukan reaksi apapun.
“ mama, ko tra usah pi kastinggal
yuli ”, seruku. Aku kaget, dan sedetik kemudian aku merasa semuanya gelap.
“ Mama….! ”, sontak aku kaget berdiri, lalu ku coba arahkan mataku, namun mama sudah tidak ada, sebaliknya aku malah berada diatas tempat tidurku. Kemudian kucoba tenangkan diri, lalu mencoba menjernihkan pikiranku, dan mencoba menyadari apa yang sebenarnya sudah terjadi hingga akhirnya aku sadar bahwa tadi itu aku bermimpi.
“ Mama….! ”, sontak aku kaget berdiri, lalu ku coba arahkan mataku, namun mama sudah tidak ada, sebaliknya aku malah berada diatas tempat tidurku. Kemudian kucoba tenangkan diri, lalu mencoba menjernihkan pikiranku, dan mencoba menyadari apa yang sebenarnya sudah terjadi hingga akhirnya aku sadar bahwa tadi itu aku bermimpi.
Setelah tahu bahwa ternyata itu
hanyalah mimpi maka dengan gelisah ku keluar dari kamar dan menuju ke kamar
tamu. Ketika ku lirik jam dinding yang tergantung, ternyata jam menunjukan
pukul lima sore. Kemudian aku kearah dapur yang terletak dibelakang,
sesampainya disana. Disana tak ada siapapun.
“ adooh mama deng bapa ni kemana,
su mo malam baro belum pulang ”, ucapku seorang diri.
Suasana makin gelap, ku nyalakan
lampu pelita. Mama dan bapa masih belum juga pulang, membuat aku makin hawatir.
Mimpi yang tadi ku lihat terus saja mengganggu pikiranku. Lalu setelah beberapa
menit kemudian pintu dapur diketuk, dan aku pun membukanya. Ternyata mama, aku
lansung memeluknya. Mama Nampak terkejut ketika ku peluk.
“ yuli, ko kenapa? ”, mama bertanya
dengan nada heran.
“ mama tadi sa mimpi buruk ”, ucapku tanpa melepaskan pelukanku pada mama.
“ mama tadi sa mimpi buruk ”, ucapku tanpa melepaskan pelukanku pada mama.
“ yuli, biarkan mama duduk dulu, baru ko
cerita.” Sambil melepaskan pelukan ku.
Setelah itu mama duduk, dan mama
memintaku untuk menceritakannya, lalu aku pun menceritakan mimpi itu,
menceritakan sedetail mungkin. Kemudian mama akhirnya mendekat kearahku dan
memelukku “ Sudah tak usah ko pikirkan ”, kata mamaku dengan nada menghibur dan
meyakinkanku bahwa mama tidak apa-apa dan tidak akan terjadi apa-apa sama mama.
Kemudian mama menyiapkanku
makan, lalu aku pun makan, usai itu mama memintaku untuk kembali ke kamar untuk
mengerjakan tugas sekolah serta belajar kemudian tidur. Aku pun akhirnya
menuruti kata-kata mama, kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas, lalu tidur.
***
Setiap kali mama pergi dengan
noken besarnya, aku selalu memintanya untuk ikut namun mama tak pernah
mengiyakan aku untuk ikut. Noken besar itu mama selalu isi dengan beberapa
macam sayuran yang mama ikat rapih, sayuran itu mama pagi-pagi sekali ambil
dari kebun yang jaraknya sekitar 5 KM dari rumah. Usai mama membawa noken besar
itu entah kemana, ketika pulang sayuran yang mama isi dalam noken besar itu
selalu saja kosong. Kadang aku bingun, entah mama memberinya kepada siapa atau
mama melakukan apa terhadap sayur-sayuran yang mama bawah itu sehingga ketika
pulang ku dapati tak ada lagi.
Kadang mama pulang dengan
membelikanku beberapa cemilan, kadang pula manisan tapi ku tahu bahwa mama
ketika pergi tak pernah membawa uang sama sekali. Semua itu membuatku bingun.
Aku tak tahu sama sekali pekerjaan apa yang mama kerjakan, karena aku selalu
dilarang ikut.
Siang itu, rasa penasaranku
memang tak bisa lagi diajak kompromi, aku sudah bertekat akan mengikuti mama
dari belakang, aku ingin tahu apa yang sebenarnya mama lakukan. Lalu ketika ku
tengok, mama lagi bersiap-siap, kemudian memanggul noken besar itu dan beranjak
keluar dari rumah dan aku pun
mengikutinya.
Akhirnya mama berhenti di sebuah
pasar, lalu menurunkan nokennya disamping teman mamaku yang tempo dulu dalam mimpiku
menemukan mama dalam parit. Teman mamaku itu membantu mama, lalu dari dalam
noken, mama mengeluarkan sebuah karung bekas yang selama ini tak pernah
kuperhatikan bahwa karung itu selalu berada dalam noken mama. Mama kemudian mengeluarkan
beberapa ikat sayuran, lalu meletakannya dengan rapih diatas karung bekas itu,
sedangkan mama duduk diatas tanah tanpa alas sama sekali.
Aku masih terus mengintai dari
jauh, melihat semua dengan penuh perhatian. Kemudian ada beberapa orang datang
menghapiri mama, lalu berbincang dengan mama, ada yang mengeluarkan sesuatu
dari dalam noken mereka lalu menyerahkan pada mama, lalu mama pun membalasnya
dengan memberikan seikat atau kadang dua ikat sayuran yang mama letakan diatas
karung.
Ketika kendaraan beroda dua
maupun empat melewati pasar, selalu saja kendaraan-kendaraan itu meninggalkan
bekas debu yang berterbangan, kondisi mama ketika debu mengenai raut wajah yang
tua itu sangat memprihatinkan. Raut wajah mama yang selalu cerah kehilangan
pacaran cahaya keibuannya. Debu mengubah raut wajah mama, bahkan mengubah
kesegaran sayur-sayuran yang mama letakan diatas tikar karung, lalu bajunya pun
hilang warnanya ditelang debu.
Melihat semua itu mengiris hatiku,
Ingin ku berteriak sekerasnya pada pemilik hidup, kenapa kehidupan begitu kejam
sehingga mama mengalami nasip yang sangat buruk. Lalu aku kini baru menyadari
bahwa mama sering pulang agak malam serta kasus sayur-sayuran yang sering ku
pertanyakan itu ternyata karena mama berjualan, semua itu demi aku, demi
keluargaku. Menyadari akan hal itu, membuatku bangga bercampur sedih, aku
bangga pada mama yang menjadi pahlawan dalam hidupku dengan mengorbankan
keringat dan tenaganya, kemudian aku pun sedih melihat nasip mama yang harus
berjualan diatas tanah berdebu, bahkan mungkin pula diatas tanah becek ketika
hujan.
Lalu untuk siapa Gedung pasar itu,
pertanyaan itu selintas muncul dalam benakku, dan memaksaku untuk mendekat
kearah Gedung pasar itu, kemudian aku pun dengan pelan-pelan mendekati Gedung
itu, berjalan dengan hati-hati, takut ketahuan mama. Sesampainya di Gedung itu,
didalam Gedung megah itu banyak orang sedang nampak berjualan. Setelah
berkeliling ke seluruh area Gedung, sebuah hal yang membuatku heran bercampur
marah adalah kenyataan bahwa yang ada didalam Gedung pasar itu adalah
orang-orang asing, orang yang bukan dari tanah kelahiranku, mereka semua adalah
orang-orang luar yang datang sekedar mengaduh nasip, serta mencari peruntungan.
Siapakah mereka sehingga tempat
yang layak seakan menjadi hak mereka, lalu mama-mamaku yang diluar sana
berjualan diatas tanah berdebu itu siapa?, seakan-akan mama-mamaku yang diluar
sana adalah perantau yang di geser dari tempat yang layak, seakan-akan
mama-mamaku bukan manusia. Apa yang kulihat dengan mata yang bisu ini membuatku
harus mengucap rasa dengan air mata.
Ketika menyadari semua kenyataan yang mengiris mata hati itu, aku tanpa menghiraukan orang-orang yang berada di sekelilingku berlari pulang. Aku benar-benar tak kuasa lagi melihat ketidakadilan yang dirasakan oleh mama-mamaku itu. Semua itu menjadi mata pisau yang tajam, mengirisku tanpa ampun. Tuhan siapakah kami?
Ketika menyadari semua kenyataan yang mengiris mata hati itu, aku tanpa menghiraukan orang-orang yang berada di sekelilingku berlari pulang. Aku benar-benar tak kuasa lagi melihat ketidakadilan yang dirasakan oleh mama-mamaku itu. Semua itu menjadi mata pisau yang tajam, mengirisku tanpa ampun. Tuhan siapakah kami?
***
Hari sudah mulai gelap, bahkan
suara jangkrik terdengar seperti paduan suara yang sedang melagukan kepedihan
yang lahir dari ketidakadilan. Ketidakadilan telah tumbuh subur sejak lama di
negeriku yang penuh dusta nestapa. Kami tidur diatas Emas, kami berenang diatas
minyak tapi semua itu bukan kami punya, sebuah lirik lagu yang sering bapa
putar di speaker tua miliknya. Lansung ku ingat lagu itu ketika ingatanku
kembali ke pasar, kejadian yang baru ku alami siang tadi.
Mama masih belum pulang dari
pasar, entah kenapa, aku masih tidak bisa sabar menunggunya. Aku ingin segera
bertanya pada mama, kenapa Gedung pasar yang megah itu telah bersarang mahluk
asing, orang-orang yang tidak kukenali, orang-orang yang entah berasal dari
mana?, orang-orang yang membuat mama harus duduk diatas tanah berdebu itu.
Setelah setengah jam kemudian,
suara mama terdengar dari luar rumah, dan aku tahu bahwa itu mama yang sudah
pulang dari pasar yang tidak punya keadilan. Lalu mama yang seperti biasanya
datang dengan raut wajah penuh senyuman itu masuk melalui pintu dapur, namun
tidak dengan aku yang sedang menunggunya, raut wajahku sudah berubah sejak
kepulanganku dari pasar tadi, kekecewaan telah bersarang di benakku.
“ mama sa ada mo tanya sesuatu? ”, ucapku sambil menahan nafas
“ nanti sa bilang sebentar, sekarang mama istrahat dulu ”, sambungku.
“ mama sa ada mo tanya sesuatu? ”, ucapku sambil menahan nafas
“ nanti sa bilang sebentar, sekarang mama istrahat dulu ”, sambungku.
“ Yuli, mo bilang apa? ”, kata
mama.
“ sebentar saja mama”, Balasku.
“ sebentar saja mama”, Balasku.
“ iyo sudah ”. sahut mama. Mama
meletakan noken besar itu kemudian lalu keluar ke belakang, lalu membasuh
mukanya dengan air, lalu masuk lagi dan lansung duduk didekat tungku api,
memasukan kayu bakar, hingga kayu bakar yang sudah kering itu habis di lahap
api. Ketika kayu-kayu itu habis dilahap api dan hanya meninggalkan bara maka
mama memasukan ubi, lalu membakarnya dengan bara api.
“
mama sa mo tanya?”, ucapku tanpa mengalihkan perhatianku kepada mama yang
dengan tangguhnya memasak ubi itu.
“ iyo, mo tanya apa ”, ucap mama.
“ mama, tadi dari pasar toh, dan selama ini mama berjualan toh”.
“ mama, tadi dari pasar toh, dan selama ini mama berjualan toh”.
“ oh jadi tadi ko ada ikut mama diam-diam”.
“ io mama, sa ada ikut dari belakang dan selama ini mama kenapa tra
pernah ajak
sa ikut dan selalu larang sa kalau mo
ikut? ”, dengan nada agak kecewa.
“ Mama tra pernah mo ajak ko tuh karna mama tau ko pasti bosan kalau
ikut
Mama, serta tadi ko su lihat sendiri toh kondisi pasarnya, memangnya ko
juga
mo duduk diatas tanah begitu ”. ucap mama sambil memandangku.
Ucapan
itu membuatku terdiam, memang apa yang mama sampaikan ada benarnya. Tentu saja
bila aku ikut mama ke pasar dan hanya duduk menunggu mama jualan. Itu pasti
sangat membosankan.
“ mama, lalu gedung pasar yang
sebelah tempat mama jualan itu, kenapa malah
Orang-orang asing yang
jualan disana? ”, tanyaku pada mama.
“ itu betul yuli, memang pasar sudah dikuasai oleh orang-orang pendatang dan
“ itu betul yuli, memang pasar sudah dikuasai oleh orang-orang pendatang dan
Mengenai hak kami
mama-mama soal pasar, kami sempat datangi
pemerintah daerah
untuk minta disediakan untuk kami tempat berjualan
namun masih belum ada
respon ”. ucap mama dengan nada yang penuh
harapan.
Aku terdiam mendengar apa yang mama
utarakan. Bila memang begitu persoalannya maka yang harus disalah itu siapa,
apakah para mendatang yang sudah menguasai pasarnya mama ataukah pemerintah
daerah yang seakan-seakan buta melihat penderitaan mama-mama diatas tanah air
mereka sendiri.
Ungkapan mama yang hanya sepatah
kata, namun bagiku sepatah kata itu saja sudah cukup membuka mataku, betapa
ketidakadilan tercipta dalam lingkup kehidupan mama-mama yang patut aku sebut
pahlawan. Mereka tiap hari pergi ke pasar dengan membawa hasil kebun. Berjualan
dibawah panasnya terik matahari yang membakar kulit mereka. Berusaha bertahan
dari terpaan debu yang bisa mengakibatkan flu, ataupun mendatang
penyakit-penyakit yang berbahaya bagi tubuh mereka. Mungkin kebanyakan orang
melihat hal itu biasa saja, sebab mereka melihat aktifitas itu terjadi setiap
harinya, namun tidak bagiku, bagiku itu adalah masalah. Masalah yang telah
menjelma menjadi sebuah kebiasaan. Dan kebiasan buruk itu musti di musnahkan,
kelayakan akan tempat mereka berjualan harus dipenuhi selayak manusia sebab
mereka bukanlah hewan.
Semua hal itu terus menggangguku,
mengganggu daya pikirku, betapa demi uang recehan, mama berjualan dengan tujuan
menghidupiku selayaknya mereka yang hidup berkecukupan, menyekolahkanku dengan
harapan melihat kembali perjuangan mama yang rela duduk diatas tanah tanpa alas
sedikitpun.
Sungguh semua itu kusimpan rapat
di ingatan, kelak aku ingin mengubah gaya hidup yang tidak adil, aku ingin
menghapus semua ketidakadilan itu. Lalu dengan perlahan-lahan ku tutup mataku,
dan akhirnya terlelap dalam mimpi.
Keesokan harinya, dengan mantap
ku kenakan pakaian seragam sekolah, lalu ku ambil tas yang sejak kemarin sudah
ku isi buku tulis dan pena, kemudian aku beranjak ke sekolah. Selama dalam
perjalananku kesekolah, aku mulai berpikir tentang pengalaman serta pemahaman
baru yang sempat ku terima kemarin. Satu hal pasti yang ku pikirkan adalah
menceritakan semua yang baru ku ketahui kemarin itu kepada teman-temanku, aku
ingin mereka pun paham bahwa mama-mama kami diperlakukan secara tidak adil, dipinggirkan
dari dunia pasar.
Pada ahirnya aku pun sampai
disekolah, kemudian aku mengikuti apel pagi, lalu lanjut masuk ke kelas,
sesampainya dikelas, sebelum guru mata pelajaran ekonomi masuk, aku
menceritakan semua yang kemarin ku alami dan ku pikirkan kepada teman-temanku.
“ ah itu betul yuli.” ucap agus
yang dengan tenang mendengarkanku sejak tadi.
“ menurutku, kita harus tanya sama pak joni, kan dia guru mata pelajaran
ekonomi
serta kebetulan juga pas sebentar dia akan masuk di jam pertama ”, Yuni
yang
sejak tadi diam itu mengusulkan.
“ nah, itu dia yang sa ada pikirkan ”, kataku membalas ucapan yuni.
“ boleh nanti kita tanya”, kata riko yang memang tidak diragukan soal
tanya
menanya dengan guru di dalam kelas.
Kemudian beberapa menit
kemudian, pak joni akhirnya masuk ke kelas kami untuk memberikan pelajaran
ekonomi. Lalu setelah apsen dijalankan, pak joni lanjut memberi kami materi
tentang ekonomi yang memang kami akui sangat asing. Banyak teori ekonomi yang
pak joni ajarkan, tapi jujur saja, tak satu pun yang ku pahami, bahkan aku
yakin sedikitpun tak masuk dalam otakku yang standar-standar saja.
Hingga pada akhirnya pak joni
menyinggung soal pasar, dan itulah yang menarik bagiku. Kemudian teman kelasku,
si riko akhirnya mengajukan pertanyaan tentang apa yang tadi sempat ku
ceritakan.
Lalu pak joni menjelaskan kepada
kami tentang pasar membuat kami harus memasang perhatian penuh mendengarkan
penjelasannya.
“
jadi anak-anak, menurut pemahaman bapa, pasar adalah sebuah tempat dimana
terjadinya proses teransaksi antara penjual dan pembeli, itu pandangan
secara
umumnya. Namun adanya pasar tidaklah sesederhana itu, akan tetapi karena
ini
menyangkut mama-mama kita yang disingkir dari keberadaan pasar maka
baiklah
bapa akan perjelas saja tentang pasar itu dalam lingkungan kita sesuai
dengan
pemahaman bapa ”, ucap pak joni
sambil mengambil nafas, seakan-akan
mengumpulkan semua ingatannya tentang pasar.
“ Nah, jadi pasar sebenarnya hadir sebagai
wadah untuk masyarakat guna dapat
menjual dan membeli barang,
misalnya ubi, sayur-sayuran atau lainnya sehingga
memang tidak salah bila tadi kalian sempat menanyakannya. Lalu pasti
kalian
pun bertanya mengapa monopoli pasar itu terjadi. Hal ini terjadi karena pasar
sudah dikuasai oleh pemodal, para pemodal ini menguasai pasar dengan
mendapatkan tempat transaksi jaul beli yang layak, kadang dengan
membayar
kepada para pejabat setempat atau kepada siapa pun dia yang dianggap
memiliki
kuasa terhadap pasar tersebut. Jadi tersingkirnya mama-mama kita dari
pasar itu
pun akibat dari hal yang bapa ada sampaikan barusan.” Katanya mengahiri
penjelasannya yang singkat itu.
Setelah mendengar penjelasan pak
joni, kini barulah aku paham bahwa penderitaan yang mama-mama kami alami itu
akibat dari para pemodal dan para pejabat yang korup itu. Mereka sungguh tidak
punya akal, mereka memang tidak punya belas kasihan, membuat mama-mama kami
harus menderita.
***
Bandung,
31/01/2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar