Kamis, 31 Januari 2019

Cerpen : Hantu Menjelang malam Morning star


Hantu menjelang malam Morning Star


                Nyala api unggun menerangi halaman sekolah, hawa dingin menusuk hingga kedalam tulang. Lalu Sekitar lima orang duduk mengelilingi kobaran api unggun itu, dan aku adalah salah satunya, namaku leuname. Lalu yang paling tua diantara kami bernama Lukas yang pada saat itu duduk di sebelah kananku, sedangkan di sebelah kiriku adalah leyden kawan baikku, disamping leyden duduk adik laki-lakiku marti, serta yang duduk di sebelah lukas adalah yosep teman kompleksku.

                 Kami sejak sore sudah duduk sambil membuat api unggun di tengah halaman sekolah dasar yang berada di kompleksku, itu pun karena pak kepala sekolah yang memang sudah seperti orang tua kami sempat meminta kami berlima untuk menjaga kompleks dari hal-hal yang negatif yang bisa saja mengancam lingkungan dan masyarakat yang hidup disekitar komleksku, hal ini mengingat besok adalah momen yang sangat penting bagi orang Papua. Ya.., besok tepat tanggal 1 desember. Sebuah hari yang datang tiap tahun, mengingatkan masa lalu orang papua, dimana bintang kejora berkibar pada tanggal 1 desember tahun 1961 untuk pertama kalinya tanpa adanya gangguan dari para penindas yang menyengsarakan manusia papua. Hari itu bangsa papua menyatakan diri sebagai satu bangsa yang terlepas dari ikatan penindasan bangsa lain, namun dengan tipu daya serta rekayasa oleh para penindas, penjajah, dan para kapitalis berhasil mengikat bangsa papua dalam pangkuan penderitaan.

               Memang kami sangat sependapat dengan pak kepala sekolah mengingat bahwa selama ini pernah banyak kejadian pelanggaran HAM yang sempat terjadi dibeberapa daerah dengan dalil mengamankan, misalnya seperti pemukulan, penangkapan dan penembakan terhadap warga sipil oleh ABRI.

                 “ teman-teman tentu pernah mendengar mengenai beberapa operasi yang dilakukan

                    oleh ABRI terhadap masyarakat sipil ditanah kita, tanah papua inikan? ”,

                     tanyaku pada teman-temanku itu.

                  

                  “ Memang aku pernah dengar namun tidak begitu tahu tentang berbagai operasi

                     itu secara detail karena kurangnya informasi ”, sahut leyden.


                   “Kak, sa jua tra tau soal itu”, ucap marti.


                   “ Jadi begini teman-teman, aku akan menceritakan semua yang ku ketahui kepada

                      Kalian. Yang pertama adalah operasi Sadar dengan wilayah operasi Manokwari

                      dan sorong, dalam operasi ini banyak torang pu sodara/I yang meninggal,

                      banyak juga perempuan papua yang dijadikan budak seks dan akhirnya dibunuh

                      dengan biadab, bahkan Gedung sekolah, rumah ibadah serta satu kampung

                      dibakar habis, tidak sampe situ, binatang serta harta kekayaan lainnya pun

                      dibasmi habis. Lalu ditempat berbeda yaitu di paniai, deiyai, dogiyai juga

                      terjadi operasi yang sama dilakukan oleh angkatan bersenjata republik

                      Indonesia, . Yang berikutnya adalah Operasi Tumpas, walayah operasinya biak

                      barat dan biak utara, pada operasi ini terjadi penembakan, penyiksahan,

                      penahanan, pemerkosan, serta penculikan, banyak pula perempuan yang

                      mengalami tindak kekerasan seksual dan akhirnya dibunuh. Selanjutnya adalah

                      sebuah operasi Pembunuhan massal yang terjadi dipegunungan tengah papua

                      yang menewaskan hampir 4 juta lebih masyarakat sipil, mulai dari bayi hingga

                     orang dewasa, dan dalam operasi ini pun tidak terlepas dari kasus penculikan,

                     pemusnahan harta benda, dan pemerkosaan. Berikutnya, operasi yang

                     menargetkan Thadeus Yogi, Pada operasi ini masyarakat sipil ditahan sampai

                    dibunuh dengan cara diikat dengan tali digantungkan kemudian besi yang sudah

                    dipanaskan/dibakar di api sampai merah, mereka masukan besi panas tersebut

                    dari pantat hingga keluar dimulut, mereka itu bukan lain, tong tete dong yang di

                    meewo. Jadi itu adalah beberapa kasus operasi militer yang aku ketahui, memang

                    kalau mau ditelusuri lagi maka banyak sekali kasus pelanggaran Hak Asasi

                    Manusia yang terjadi di torang pu tanah ini, dimulai dari tahun 1960 hingga saat

                    ini.” Ucapku mengahiri penuturanku tentang beberapa operasi militer yang sempat

                    ku dengar dari beberapa orang tua.


         Kemudian ku tuang kopi hitam kedalam gelas, lalu mengambil sebatang rokok surya Kecil, memasang api, lalu menghirup asap rokoknya dengan perlahan-lahan sambil mencoba membuang perih dalam benak mengingat banyak manusia papua yang sudah berpulang ke bapa di surga akibat ABRI yang dengan ganas membunuh, dan merampok serta memusnahkan segala sesuatu yang ada diatas tanah airku, bumi cendrawasih.


                “ sa jua ada sesuatu hal mengenai tong pu tanah yang harus sa ceritakan sama

                   teman-teman.” Ucap Leyden memecah kesunyian.


                “ Boleh, malah itu bagus, hitung-hitung kita mengenang nasip mengenaskan serta

                   sejarah hitam yang terjadi di tong pu tanah ini ”, kata Lukas yang sejak tadi

                   memang Nampak hanya diam sambil focus mendengarkan.


                 “ sa jua setuju sama kaka Lukas ”, ucap yosep menambahkan.

                 “ ok siap, sa akan cerita tentang beberapa hal yang sa tau saja ”. sambil menarik

                    rokok surya kecil yang dibalik jemarinya.


                 “ Jadi begini teman-teman, sa ada dengar dari kaka laki-laki satu toh, katanya

                    dijawa sana, kalau tidak salah di jogja, kos-kosan tidak menerima orang papua,

                    bayangkan masa mahasiswa papua di anggap apa coba, diperlakukan seperti

                    binatang. Tidak Cuma itu, kata kaka laki-laki, pernah ada seorang mahasiswa

                    papua yang sedang anyam noken di lingkungan kampus, lalu datang salah

                    seorang dosen, kemudian mengusirnya pulang dari lingkungan kampus.” Ucap

                    leyden sambil minum kopi hitam.

                   “ Tidak Cuma itu, kata kaka laki-laki, ketika mahasiswa papua ingin melakukan

                      aksi menuntut ketidakadilan yang terjadi pada rakyat papua, malah mereka

                      ditahan, dipukul serta mendapat cacian dan makian dari organisasi masyarakat

                      disana, dan aparat setempat.” Sambung leyden menuturkan apa yang dia dengar

                      dari kakak laki-lakinya yang juga kuliah di jawa.

           Perbincangan kami pun melebar, hingga banyak persoalan yang masing-masing kami ketahui, kami pun menceritakannya, berbagi satu sama lain, mencoba menelusuri kabut hitam yang coba ditutupi oleh para penjajah. Lalu karena aku sudah terlalu banyak minum kopi, bahkan hingga belasan gelas sehingga membuatku tidak bisa menahan air kecil maka aku pun minta ijin kebelakang meninggalkan mereka untuk melepas air kecil.

             Sesampainya aku di belakang sekolah, aku pun membuang air kecil ke semak-semak yang tumbuh dibelakang sekolah itu, usai itu, ketika aku mulai balik dan berjalan kembali melewati sudut sekolah maka aku tiba-tiba menabrak sesuatu hingga membuatku jatuh kesamping mencium tanah. Lalu dengan cepat aku berdiri, melihat apakah ada orang atau sesuatu benda yang ku tabrak tadi namun setelah ku periksa baik-baik ternyata tidak ada apapun, aku menjadi heran dan bingun, entah apa yang tadi ku tabrak itu.

             Selagi aku tenggelam dalam kebingunan, tiba-tiba ada suara ketawa yang merdu terdengar dari balik pepohonan yang tumbuh tak jauh dari semak-semak yang tadi sempat aku buang air kecil. Suara itu sangat nyaring, suara ketawa wanita, dan setelah usai suara ketawa wanita, disusul lagi terdengar suara ketawa pria. Ketika ku perhatikan dengan seksama kearah asal suara ketawa itu, tak terlihat sosok manusia, akan tetapi suara ketawa itu masih terdengar bahkan seakan-akan kadang didekat telingaku, lalu kembali terdengar lagi di tempat tadi.

              Bulu badanku merinding, sosok-sosok hantu yang sering ku tonton di Tv melintas dibenak, membuatku makin makin gugup karena takut. Lalu aku pun meninggalkan tempat itu, berlari kearah teman-temanku. Sesampainya disana, kuceritakan kejadian tadi kepada mereka.

             Kemudian, Lukas berpendapat bahwa suara ketawa itu tentu adalah hantu, namun leyden membantah itu. Menurut leyden itu adalah roh dari mereka yang telah dibunuh dengan biadab oleh aparat, mungkin mereka masih belum puas mati mengenaskan sehingga dimalam penting, dimana besok adalah momen paling special bagi orang papua, mereka pun sedang menyatakan diri bahwa roh kami pun masih belum tenang dialam sana.
           Lanjutnya lagi, Leyden mengatakan bahwa mungkin pula mereka hadir karena mendengar kisah mengenaskan tentang pembantai yang dilakukan oleh militer terhadap mereka tadi sempat kita singgung. Lalu berusaha menunjukan kepada kita bahwa pembantaian itu benar adanya, dan mereka adalah beberapa orang korban pembantaian itu.

           Usai itu, kami pun tidak terlalu mempersoalkan kehadiran mahluk-mahluk halus itu, kami melanjutkan diskusi kami tentang persoalan yang sempat tadi kami bahas itu hingga menjelang Pagi.

***



Bandung, 01/02/2019

Rabu, 30 Januari 2019

Cerpen : Mama Pahlawanku



Sumber pic : Mapio.net




              Tiba-tiba dari arah depan sebuah jalan raya, mobil avanza dengan laju sangat kencang menabrak mama yang saat itu sedang menyeberang kearahku berdiri. Percikan darah pun dengan cepat membekas di atas aspal, Mobil yang menabrak tubuh ibuku itu pun berhenti beberapa meter dari tempat mamaku tadinya terlihat melintas. Sekarang entah dimana, tubuh mamaku lenyap. Dengan perasaan ngeri bercampur hawatir dengan kondisi mamaku, aku pun dengan cepat berlari ke tempat percikan darah yang masih basah itu.

          “ mama, ko dimana?” ucapku dengan sangat gelisah.

          “ mama? ”, Ku panggil lagi, namun entah mengapa, tak ada balasan sama sekali. Aku makin  gelisah.

          “ Yuli, ko mama ada jatuh ke dalam parit ini ”, Ucap salah seorang teman mamaku yang kebetulan berada disitu pula.

          “ Mama, mama…!, ko trapapa toh ”, kataku mencoba meyakinkan diriku bahwa mamaku baik-baik saja.

           Ku angkat tubuh mamaku yang terbaring di parit sebelah jalan. Darah sudah mengubah wajah mama hingga tidak berbentuk lagi, lalu ku coba pegang denyut nadi mama, dan ternyata denyut nadinya tidak menunjukan reaksi apapun.

            “ mama, ko tra usah pi kastinggal yuli ”, seruku. Aku kaget, dan sedetik kemudian aku merasa semuanya gelap.
             “ Mama….! ”, sontak aku kaget berdiri, lalu ku coba arahkan mataku, namun mama sudah tidak ada, sebaliknya aku malah berada diatas tempat tidurku. Kemudian kucoba tenangkan diri, lalu mencoba menjernihkan pikiranku, dan mencoba menyadari apa yang sebenarnya sudah terjadi hingga akhirnya aku sadar bahwa tadi itu aku bermimpi.

             Setelah tahu bahwa ternyata itu hanyalah mimpi maka dengan gelisah ku keluar dari kamar dan menuju ke kamar tamu. Ketika ku lirik jam dinding yang tergantung, ternyata jam menunjukan pukul lima sore. Kemudian aku kearah dapur yang terletak dibelakang, sesampainya disana. Disana tak ada siapapun.

            “ adooh mama deng bapa ni kemana, su mo malam baro belum pulang ”, ucapku seorang diri.

             Suasana makin gelap, ku nyalakan lampu pelita. Mama dan bapa masih belum juga pulang, membuat aku makin hawatir. Mimpi yang tadi ku lihat terus saja mengganggu pikiranku. Lalu setelah beberapa menit kemudian pintu dapur diketuk, dan aku pun membukanya. Ternyata mama, aku lansung memeluknya. Mama Nampak terkejut ketika ku peluk.

            “ yuli, ko kenapa? ”, mama bertanya dengan nada heran.
            “ mama tadi sa mimpi buruk ”, ucapku tanpa melepaskan pelukanku pada mama.

            “ yuli, biarkan mama duduk dulu, baru ko cerita.” Sambil melepaskan pelukan ku.

              Setelah itu mama duduk, dan mama memintaku untuk menceritakannya, lalu aku pun menceritakan mimpi itu, menceritakan sedetail mungkin. Kemudian mama akhirnya mendekat kearahku dan memelukku “ Sudah tak usah ko pikirkan ”, kata mamaku dengan nada menghibur dan meyakinkanku bahwa mama tidak apa-apa dan tidak akan terjadi apa-apa sama mama.

               Kemudian mama menyiapkanku makan, lalu aku pun makan, usai itu mama memintaku untuk kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas sekolah serta belajar kemudian tidur. Aku pun akhirnya menuruti kata-kata mama, kembali ke kamar untuk mengerjakan tugas, lalu tidur.

***

             Setiap kali mama pergi dengan noken besarnya, aku selalu memintanya untuk ikut namun mama tak pernah mengiyakan aku untuk ikut. Noken besar itu mama selalu isi dengan beberapa macam sayuran yang mama ikat rapih, sayuran itu mama pagi-pagi sekali ambil dari kebun yang jaraknya sekitar 5 KM dari rumah. Usai mama membawa noken besar itu entah kemana, ketika pulang sayuran yang mama isi dalam noken besar itu selalu saja kosong. Kadang aku bingun, entah mama memberinya kepada siapa atau mama melakukan apa terhadap sayur-sayuran yang mama bawah itu sehingga ketika pulang ku dapati tak ada lagi.

               Kadang mama pulang dengan membelikanku beberapa cemilan, kadang pula manisan tapi ku tahu bahwa mama ketika pergi tak pernah membawa uang sama sekali. Semua itu membuatku bingun. Aku tak tahu sama sekali pekerjaan apa yang mama kerjakan, karena aku selalu dilarang ikut.

               Siang itu, rasa penasaranku memang tak bisa lagi diajak kompromi, aku sudah bertekat akan mengikuti mama dari belakang, aku ingin tahu apa yang sebenarnya mama lakukan. Lalu ketika ku tengok, mama lagi bersiap-siap, kemudian memanggul noken besar itu dan beranjak keluar dari rumah dan  aku pun mengikutinya.

               Akhirnya mama berhenti di sebuah pasar, lalu menurunkan nokennya disamping teman mamaku yang tempo dulu dalam mimpiku menemukan mama dalam parit. Teman mamaku itu membantu mama, lalu dari dalam noken, mama mengeluarkan sebuah karung bekas yang selama ini tak pernah kuperhatikan bahwa karung itu selalu berada dalam noken mama. Mama kemudian mengeluarkan beberapa ikat sayuran, lalu meletakannya dengan rapih diatas karung bekas itu, sedangkan mama duduk diatas tanah tanpa alas sama sekali.

                Aku masih terus mengintai dari jauh, melihat semua dengan penuh perhatian. Kemudian ada beberapa orang datang menghapiri mama, lalu berbincang dengan mama, ada yang mengeluarkan sesuatu dari dalam noken mereka lalu menyerahkan pada mama, lalu mama pun membalasnya dengan memberikan seikat atau kadang dua ikat sayuran yang mama letakan diatas karung.

                 Ketika kendaraan beroda dua maupun empat melewati pasar, selalu saja kendaraan-kendaraan itu meninggalkan bekas debu yang berterbangan, kondisi mama ketika debu mengenai raut wajah yang tua itu sangat memprihatinkan. Raut wajah mama yang selalu cerah kehilangan pacaran cahaya keibuannya. Debu mengubah raut wajah mama, bahkan mengubah kesegaran sayur-sayuran yang mama letakan diatas tikar karung, lalu bajunya pun hilang warnanya ditelang debu.

             Melihat semua itu mengiris hatiku, Ingin ku berteriak sekerasnya pada pemilik hidup, kenapa kehidupan begitu kejam sehingga mama mengalami nasip yang sangat buruk. Lalu aku kini baru menyadari bahwa mama sering pulang agak malam serta kasus sayur-sayuran yang sering ku pertanyakan itu ternyata karena mama berjualan, semua itu demi aku, demi keluargaku. Menyadari akan hal itu, membuatku bangga bercampur sedih, aku bangga pada mama yang menjadi pahlawan dalam hidupku dengan mengorbankan keringat dan tenaganya, kemudian aku pun sedih melihat nasip mama yang harus berjualan diatas tanah berdebu, bahkan mungkin pula diatas tanah becek ketika hujan.

            Lalu untuk siapa Gedung pasar itu, pertanyaan itu selintas muncul dalam benakku, dan memaksaku untuk mendekat kearah Gedung pasar itu, kemudian aku pun dengan pelan-pelan mendekati Gedung itu, berjalan dengan hati-hati, takut ketahuan mama. Sesampainya di Gedung itu, didalam Gedung megah itu banyak orang sedang nampak berjualan. Setelah berkeliling ke seluruh area Gedung, sebuah hal yang membuatku heran bercampur marah adalah kenyataan bahwa yang ada didalam Gedung pasar itu adalah orang-orang asing, orang yang bukan dari tanah kelahiranku, mereka semua adalah orang-orang luar yang datang sekedar mengaduh nasip, serta mencari peruntungan.

             Siapakah mereka sehingga tempat yang layak seakan menjadi hak mereka, lalu mama-mamaku yang diluar sana berjualan diatas tanah berdebu itu siapa?, seakan-akan mama-mamaku yang diluar sana adalah perantau yang di geser dari tempat yang layak, seakan-akan mama-mamaku bukan manusia. Apa yang kulihat dengan mata yang bisu ini membuatku harus mengucap rasa dengan air mata.
               Ketika menyadari semua kenyataan yang mengiris mata hati itu, aku tanpa menghiraukan orang-orang yang berada di sekelilingku berlari pulang. Aku benar-benar tak kuasa lagi melihat ketidakadilan yang dirasakan oleh mama-mamaku itu. Semua itu menjadi mata pisau yang tajam, mengirisku tanpa ampun. Tuhan siapakah kami?

***



              Hari sudah mulai gelap, bahkan suara jangkrik terdengar seperti paduan suara yang sedang melagukan kepedihan yang lahir dari ketidakadilan. Ketidakadilan telah tumbuh subur sejak lama di negeriku yang penuh dusta nestapa. Kami tidur diatas Emas, kami berenang diatas minyak tapi semua itu bukan kami punya, sebuah lirik lagu yang sering bapa putar di speaker tua miliknya. Lansung ku ingat lagu itu ketika ingatanku kembali ke pasar, kejadian yang baru ku alami siang tadi.

             Mama masih belum pulang dari pasar, entah kenapa, aku masih tidak bisa sabar menunggunya. Aku ingin segera bertanya pada mama, kenapa Gedung pasar yang megah itu telah bersarang mahluk asing, orang-orang yang tidak kukenali, orang-orang yang entah berasal dari mana?, orang-orang yang membuat mama harus duduk diatas tanah berdebu itu.

             Setelah setengah jam kemudian, suara mama terdengar dari luar rumah, dan aku tahu bahwa itu mama yang sudah pulang dari pasar yang tidak punya keadilan. Lalu mama yang seperti biasanya datang dengan raut wajah penuh senyuman itu masuk melalui pintu dapur, namun tidak dengan aku yang sedang menunggunya, raut wajahku sudah berubah sejak kepulanganku dari pasar tadi, kekecewaan telah bersarang di benakku.
             “ mama sa ada mo tanya sesuatu? ”, ucapku sambil menahan nafas
             “ nanti sa bilang sebentar, sekarang mama istrahat dulu ”, sambungku.

             “ Yuli, mo bilang apa? ”, kata mama.
             “ sebentar saja mama”, Balasku.

             “ iyo sudah ”. sahut mama. Mama meletakan noken besar itu kemudian lalu keluar ke belakang, lalu membasuh mukanya dengan air, lalu masuk lagi dan lansung duduk didekat tungku api, memasukan kayu bakar, hingga kayu bakar yang sudah kering itu habis di lahap api. Ketika kayu-kayu itu habis dilahap api dan hanya meninggalkan bara maka mama memasukan ubi, lalu membakarnya dengan bara api.

               “ mama sa mo tanya?”, ucapku tanpa mengalihkan perhatianku kepada mama yang dengan tangguhnya memasak ubi itu.

                “ iyo, mo tanya apa ”, ucap mama.
                “ mama, tadi dari pasar toh, dan selama ini mama berjualan toh”.

                 “ oh jadi tadi ko ada ikut mama diam-diam”.

                 “ io mama, sa ada ikut dari belakang dan selama ini mama kenapa tra pernah ajak 

                    sa ikut dan selalu larang sa kalau mo ikut? ”, dengan nada agak kecewa.

                  “ Mama tra pernah mo ajak ko tuh karna mama tau ko pasti bosan kalau ikut

                     Mama, serta tadi ko su lihat sendiri toh kondisi pasarnya, memangnya ko juga

                     mo duduk diatas tanah begitu ”. ucap mama sambil memandangku.

         Ucapan itu membuatku terdiam, memang apa yang mama sampaikan ada benarnya. Tentu saja bila aku ikut mama ke pasar dan hanya duduk menunggu mama jualan. Itu pasti sangat membosankan.

                      “ mama, lalu gedung pasar yang sebelah tempat mama jualan itu, kenapa malah

                         Orang-orang asing yang jualan disana? ”, tanyaku pada mama.
                       “ itu betul yuli, memang pasar sudah dikuasai oleh orang-orang pendatang dan

                          Mengenai hak kami mama-mama soal pasar, kami sempat datangi

                          pemerintah daerah untuk minta disediakan untuk kami tempat berjualan

                          namun masih belum ada respon ”. ucap mama dengan nada yang penuh

                          harapan.

            Aku terdiam mendengar apa yang mama utarakan. Bila memang begitu persoalannya maka yang harus disalah itu siapa, apakah para mendatang yang sudah menguasai pasarnya mama ataukah pemerintah daerah yang seakan-seakan buta melihat penderitaan mama-mama diatas tanah air mereka sendiri.

             Ungkapan mama yang hanya sepatah kata, namun bagiku sepatah kata itu saja sudah cukup membuka mataku, betapa ketidakadilan tercipta dalam lingkup kehidupan mama-mama yang patut aku sebut pahlawan. Mereka tiap hari pergi ke pasar dengan membawa hasil kebun. Berjualan dibawah panasnya terik matahari yang membakar kulit mereka. Berusaha bertahan dari terpaan debu yang bisa mengakibatkan flu, ataupun mendatang penyakit-penyakit yang berbahaya bagi tubuh mereka. Mungkin kebanyakan orang melihat hal itu biasa saja, sebab mereka melihat aktifitas itu terjadi setiap harinya, namun tidak bagiku, bagiku itu adalah masalah. Masalah yang telah menjelma menjadi sebuah kebiasaan. Dan kebiasan buruk itu musti di musnahkan, kelayakan akan tempat mereka berjualan harus dipenuhi selayak manusia sebab mereka bukanlah hewan.

              Semua hal itu terus menggangguku, mengganggu daya pikirku, betapa demi uang recehan, mama berjualan dengan tujuan menghidupiku selayaknya mereka yang hidup berkecukupan, menyekolahkanku dengan harapan melihat kembali perjuangan mama yang rela duduk diatas tanah tanpa alas sedikitpun.

              Sungguh semua itu kusimpan rapat di ingatan, kelak aku ingin mengubah gaya hidup yang tidak adil, aku ingin menghapus semua ketidakadilan itu. Lalu dengan perlahan-lahan ku tutup mataku, dan akhirnya terlelap dalam mimpi.

                Keesokan harinya, dengan mantap ku kenakan pakaian seragam sekolah, lalu ku ambil tas yang sejak kemarin sudah ku isi buku tulis dan pena, kemudian aku beranjak ke sekolah. Selama dalam perjalananku kesekolah, aku mulai berpikir tentang pengalaman serta pemahaman baru yang sempat ku terima kemarin. Satu hal pasti yang ku pikirkan adalah menceritakan semua yang baru ku ketahui kemarin itu kepada teman-temanku, aku ingin mereka pun paham bahwa mama-mama kami diperlakukan secara tidak adil, dipinggirkan dari dunia pasar.

                Pada ahirnya aku pun sampai disekolah, kemudian aku mengikuti apel pagi, lalu lanjut masuk ke kelas, sesampainya dikelas, sebelum guru mata pelajaran ekonomi masuk, aku menceritakan semua yang kemarin ku alami dan ku pikirkan kepada teman-temanku.

                “ ah itu betul yuli.” ucap agus yang dengan tenang mendengarkanku sejak tadi.

                “ menurutku, kita harus tanya sama pak joni, kan dia guru mata pelajaran ekonomi

                   serta kebetulan juga pas sebentar dia akan masuk di jam pertama ”, Yuni yang

                   sejak tadi diam itu mengusulkan.

                 “ nah, itu dia yang sa ada pikirkan ”, kataku membalas ucapan yuni.

                 “ boleh nanti kita tanya”, kata riko yang memang tidak diragukan soal tanya

                    menanya dengan guru di dalam kelas.

               Kemudian beberapa menit kemudian, pak joni akhirnya masuk ke kelas kami untuk memberikan pelajaran ekonomi. Lalu setelah apsen dijalankan, pak joni lanjut memberi kami materi tentang ekonomi yang memang kami akui sangat asing. Banyak teori ekonomi yang pak joni ajarkan, tapi jujur saja, tak satu pun yang ku pahami, bahkan aku yakin sedikitpun tak masuk dalam otakku yang standar-standar saja.

              Hingga pada akhirnya pak joni menyinggung soal pasar, dan itulah yang menarik bagiku. Kemudian teman kelasku, si riko akhirnya mengajukan pertanyaan tentang apa yang tadi sempat ku ceritakan.

               Lalu pak joni menjelaskan kepada kami tentang pasar membuat kami harus memasang perhatian penuh mendengarkan penjelasannya.

                “ jadi anak-anak, menurut pemahaman bapa, pasar adalah sebuah tempat dimana

                   terjadinya proses teransaksi antara penjual dan pembeli, itu pandangan secara  

                   umumnya. Namun adanya pasar tidaklah sesederhana itu, akan tetapi karena ini

                   menyangkut mama-mama kita yang disingkir dari keberadaan pasar maka baiklah

                   bapa akan perjelas saja tentang pasar itu dalam lingkungan kita sesuai dengan

                   pemahaman bapa ”, ucap pak joni sambil mengambil nafas, seakan-akan

                   mengumpulkan semua ingatannya tentang pasar.



                “ Nah, jadi pasar sebenarnya hadir sebagai wadah untuk masyarakat guna dapat

                   menjual dan membeli barang, misalnya ubi, sayur-sayuran atau lainnya sehingga

                   memang tidak salah bila tadi kalian sempat menanyakannya. Lalu pasti kalian

                   pun bertanya mengapa monopoli pasar itu terjadi. Hal ini terjadi karena pasar

                   sudah dikuasai oleh pemodal, para pemodal ini menguasai pasar dengan

                   mendapatkan tempat transaksi jaul beli yang layak, kadang dengan membayar

                   kepada para pejabat setempat atau kepada siapa pun dia yang dianggap memiliki

                   kuasa terhadap pasar tersebut. Jadi tersingkirnya mama-mama kita dari pasar itu

                   pun akibat dari hal yang bapa ada sampaikan barusan.” Katanya mengahiri

                   penjelasannya yang singkat itu.

           Setelah mendengar penjelasan pak joni, kini barulah aku paham bahwa penderitaan yang mama-mama kami alami itu akibat dari para pemodal dan para pejabat yang korup itu. Mereka sungguh tidak punya akal, mereka memang tidak punya belas kasihan, membuat mama-mama kami harus menderita.



***





Bandung, 31/01/2019

Rabu, 23 Januari 2019

Cerpen : Pak Tentara Jang Pukul Sa Pu Bapa






   Kejadian itu terus saja mengiris hati Alfin, kadang ketika bertemu orang-orang yang bersenjata maka amarah dan dendam selalu menekannya. Kejadian itu memang terjadi ketika dia masih kecil, namun entah kenapa, kejadian itu seperti jarum yang menekannya, apa lagi ketika bertemu dengan mereka yang berseragam loreng, ya mereka itulah yang dahulu ketika alfin kecil sempat memukuli BaPanya.

               Sore itu, Alfin yang masih berusia sepuluh tahun merengek hendak ikut bapa ke pasar, kebetulan pula saat itu mamanya Alfin sedang dalam keadaan sakit sehingga terpaksa sore itu bapa harus ke pasar untuk membeli sayur. Alfin masih saja merengek bahkan menangis sambil berteriak-teriak “ Bapa, sa tra mau tau, kali ni sa pokoknya mo ikut bapa ke pasar “, katanya sambil memegang tangan bapanya dengan sangat erat, takut bila ditinggal pergi.

               Karena Alfin yang masih saja menangis dan tetap bersikeras ikut walau dibujuk berulang-ulang membuat bapanya iba, pada akhirnya bapanya alfin mengajak alfin ke pasar berdua.

                Sepanjang jalan, Alfin terus saja diam, entah apa yang dipikirkan anak kecil itu. Bapanya yang menyadari bahwa alfin yang biasanya cerewet itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun sepanjang jalan akhirnya menegur alfin “ Fin, ko kenapa diam, tra seperti biasanya, kan kalo biasanya ko paling cerewet, mo ko dijalan, mo ko dirumah, ko pu mulut tra pernah istrahat ”. lalu mendengar teguran bapa, Alfin berhenti sesaat, kemudian memandang bapanya, “ Bapa, sa Cuma heran, bapa tra lihatkah, kan jam begini, biasanya banyak orang baru, hari ini trada orang yang katong dua ketemu tuh ”. ucapan Alfin tersebut otomatis menyadarkan bapa bahwa memang hari ini agak Nampak aneh.

              Akan tetapi, bapa alfin yang sempat dibuat diam, dan tenggelam dalam lamunan oleh ucapan alfin tadi kembali menujukan wajah cerianya, “ Bapa jua heran, tapi tra usah pikir orang-orang yang hari ini tra Nampak seorang pun, sekarang katong dua cepat-cepat beli sayur di pasar baru pulang masak, ko tra kasihan ko mama yang sedang sakit ”, ucapnya sambil mempercepat langka kakinya.

              Lalu alfin dan bapanya pada akhirnya sampai juga di pasar. Namun di pasar pun Nampak aneh, tidak ada satu pun laki-laki yang Nampak, yang ada hanya mama-mama yang sedang mengatur jualannya, ada yang lagi beli dan ada juga yang lagi jual, kemudian ada pula yang sedang membereskan jualannya karena hendak pulang, ada juga yang baru menyiapkan jualannya diatas tikar tipis yang dibawah dari rumah. Memang kondisi pasar mama-mama itu tidak layak di sebut pasar, hal ini karena mama-mama jualan diatas tanah dengan berbekal tikar tipis. “ Mama, sayur bayam tuh berapa….?”, ucap bapa alfin kepada sala seorang perempuan tua yang saat itu berada di belakang tikar yang diatasnya sudah ada sayuran bayam, “ Oh itu, satu ikat dua ribu…!”, ucap perempuan tua itu membalas ucapan bapa alfin. “ dua ikat eee…, mama…”, ucap bapa alfin sambil memberikan uang selembaran lima ribu, kemudian perempuan tua itu menyerahkan dua ikat sayur bayam beserta uang kembali seribu rupiah.

             Setelah selesai membeli sayur, kedua bapa dan anak itu kemudian membeli beberapa bumbu serta tahu, lalu setelah itu keduanya melangkakan kaki hendak keluar dari pasar, hingga tepat ketika tiba di jembatan kecil yang menjadi pembatas antara jalan umum dan pasar, tiba-tiba dari arah depan datanglah tiga orang pria berseragam loreng yang sangat lengkap dengan senjata laras Panjang menghadang mereka. Tanpa mengucap apapun, seorang dari ketiga orang itu mendekati bapa alfin, kemudian tiba-tiba lelaki berpakaian loreng itu mengayungkan tangannya mengarah di depan jidat kepala hingga semenit kemudian tubuh bapa alfin sudah mendarat mencium tanah, “ Pak Tentara jang pukul sa bapa “, ucapan yang sontak keluar dari mulut mungil milik Alfin. Namun ucapan alfin seakan hanya angin belaka, tidak ada respon atau jawaban apapun, sebaliknya ayah alfin yang posisinya sudah melintang di tanah itu pun menerima dua tendangan lagi, tendangan yang benar-benar menyakitkan sebab kaki itu dibungkus rapih oleh sepatu laras.

            Darah segar menetes mengalir membasahi muka. Kondisi bapa alfin pun Nampak sangat menyedihkan, pakaian sudah sangat kotor bercampur darah dan tanah. Akan tetapi kondisi bapak alfin yang menyedihkan itu tidak mengurangi pukulan dan tentangan yang dilakukan oleh tiga pria berpakaian loreng itu, hampir sekitar belasan pukulan dan tendangan yang sudah bersarang di seluruh tubuh bapa alfin.

            Usai setengah jam kemudian datanglah sosok lelaki tua beramput putih. Lelaki tua itu bukan lain adalah Pak kepala  distrik, “ Kenapa kalian memukuli dia, ayo cepat berhenti ”, ucap pak kepala distrik kepada ketiga pria berbaju loreng itu. Ucapan pak kepala distrik itu sontak membuat ketiga pria berbaju loreng itu berhenti memukuli bapa alfin. “ Sore pak kepala distrik, kami bertiga memukulinya karena dia adalah separatis, seorang anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM)”, ucap salah seorang dari ketiga pria berbaju loreng itu.

           Bapa alfin yang masih melintang diatas tanah itu, pelan-pelan dibantu untuk duduk oleh pak kepala distrik, kemudian setelah posisi bapa alfin sudah terduduk maka pak kepala distrik membiarkannya untuk menormalkan kesadarannya. “ Apa…?, tadi kalian bertiga bilang dia separatis dan seorang anggota OPM, Apa kalian tidak salah…!. Kalian ini tidak tahu ya, Bapa Moses ini adalah seorang guru sekolah dasar di kampung Diyoudimi yang merupakan salah satu kampung di distrik kita ini, dan memang bapa moses ini jarang kelihatan disini karena waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar disana, kemudian dia sekarang bisa ada disini karena kondisi istrinya yang tinggal di ibu kota distrik sedang dalam keadaan sakit “, kata pak kepala distrik dengan nada yang agak kesal bercampur kecewa terhadap perbuatan yang dilakukan oleh tiga pria berbaju loreng yang saat itu kondisinya masih berdiri tak jauh dari pak moses, bapanya alfin. “ Tapi pak kepala distrik, hal ini terjadi karena penampilan pak moses itu ”, ucap salah seorang dari ketiga pria itu dengan wajah gugup.

               Pak kepala distrik yang agak Nampak masih kesal itu menghembuskan nafas yang sangat berat, kemudian lanjutnya “ Kalian bertiga ini bisa bedakan orang atau tidak, lalu sebelum mengambil tindakan cobalah untuk bertanya dulu, jangan main tangan lansung, kalian bertiga ini seperti preman saja. Dan bapa yakin, kalian tadi memukulinya serta menuduhnya sebagai seorang separatis atau anggota OPM karena melihat  rambutnya  yang gimbal sebatas pantat, lalu ditambah jenggot dan kumisnya yang lebat ”. Kemudian setelah mendengar penuturan pak kepala distrik yang memang tepat sekali membuat ketiga pria itu Nampak makin gugup hingga tidak ada kata-kata yang keluar dari balik bibir.

                Alfin yang tadinya menangis tanpa henti melihat bapanya dipukuli dan ditendang, kini sudah berhenti menangis dan berada disamping bapanya mendengar semua itu dengan jelas, bahkan wajah dan pakaian ketiga orang yang memukuli bapanya juga diingat dengan sangat jelas. Kebencian dan amarah sudah menguasai diri gadis kecil itu.
                Setelah mendengar penuturan pak kepala distrik yang memang benar adanya serta tidak bisa dibantah. Ketiga pria itu perlahan-lahan pamitan kepada pak distrik, lalu pergi dari tempat itu tanpa meminta maaf sedikit pun, bahkan menoleh pun tidak.

                  Melihat ketiga pria itu sudah berlalu, Pak kepala distrik akhirnya membantu pak moses berdiri, setelah pak moses berdiri, dengan perlahan pak kepala distrik membantunya berjalan dan mengantar pak moses hingga sampai dirumah.

              Ingatan tentang kejadian itulah yang membuat Alfin sangat membenci orang-orang yang berpakaian loreng, bahkan kepada orang-orang yang bersenjata, walau saat ini alfin sudah berusia dua puluhan lebih tahun dan sudah menjadi salah seorang mahasiswa di salah universitas yang ada ditanah jawa.

***





Bandung, 23/01/2019

Selasa, 22 Januari 2019

Cerpen : Bapa Jual Sa Tanah


Ilustrasi [Foto: rumahpantura.com]


            Kegelapan Seakan telah melenyapkan sang surya selamanya, hampir semua tempat tidak ada cahaya, bahkan wajah perkampungan Tabakapa sudah kehilangan pancaran sinar. Memang ini bukan yang pertama kalinya, Pemadaman lampu seringkali terjadi di perkampungan ini, hingga kadang pemadaman ini bisa sampai semalaman penuh.


              Tiba-tiba di pojok kampung, dari rumah kayu yang beratap alang-alang itu, Nampak menyala seberkas cahaya, kadang pula ada bayangan manusia yang bergerak-gerak di balik celah dinding kayu. Memang dinding itu bukan di buat dari papan yang disensor dengan mesin, namun dinding itu dibuat dari beberapa buah kayu pilihan yang dicincang sedemikian rupa membentuk balok yang sangat tipis hingga menyamai papan, namun di ujung atas maupun bawahnya di buat tajam. Dan balok kayu itulah yang ditanam didalam tanah beberapa meter dalamnya, kemudian ditanam lagi balok kayu lainnya disisinya hingga mengelilingi dinding rumah, nah itulah yang menjadi dinding rumah sehingga tanpa disadari menyisahkan celah, walau didalamnya di lapisi kulit kayu yang melapisi hampir seluruh isi dinding rumah.  sedangkan atapnya merupakan ilalang yang diikat sangat kuat sehingga tidak menyisahkan celah sedikit pun untuk tetesan air hujan, oleh sebab itu ketika musim hujan tiba maka tidak perlu hawatir bocor hingga air masuk dalam rumah, kemudian lantainya sendiri di buat dari jubi yang dianyam hingga membentang lebar diatas beberapa buah kayu yang digunakan sebagai penyangga. Lalu bagian tengah merupakan tungku api, dan bagian atas tungku api dibuat juga sebuah tempat pengering kayu bakar. Itulah salah satu ciri Rumah adat khas suku Mee yang mendiami pegunungan tengah papua, khususnya daerah Paniai, deiyai, dogiyai, nabire, dan timika.

            Bayangan manusia yang bergerak-bergerak di balik dingding kayu itu adalah Alfons, Pemuda brewok, serta berambut gimbal, dan juga pemilik postur tubuh yang kekar, bahkan kadang kawan-kawannya menyebutnya sang bodygart, atau jagoan kampung. Memang tidak bisa disangkal bahwa fisiknya hampir menyamai petinju Kris Jhon, yang sering keluar di Tv.

               Alfons Nampak sedang marah-marah, kadang tak tenang tinggal di satu tempat hingga terlihat mondar-mandir di dalam rumah, Lalu disisi lain, Nampak sosok tua berambut putih yang sedang duduk tenang tanpa mengeluarkan suara sedikit pun. “ bapa ko kenapa  jual sa tanah ”, Ucap alfons kepada lelaki tua yang bukan lain adalah bapanya sendiri. Namun sosok tua itu masih Nampak enggang mengeluarkan suara, dia masih terdiam, hanya raut wajahnya yang  tegang hingga urat-urat yang berada di jidatnya sangat terlihat jelas, menggambarkan bahwa lelaki tua itu sedang memutar otak, memikirkan sesuatu.

                 Lelaki tua itu mengambil sebatang rokok surya yang berada didepannya, kemudian meletakannya di mulut, lalu memasang api dan akhirnya menghembuskan asapnya keluar, usai itu katanya pada alfons “ Alfons, bapa minta maaf, bapa jual ko tanah tuh, karna pas waktu itu, bapa masih muda dan bapa belum kawin hingga kondisinya bapa pu pikiran masih labil mengikuti teman-teman. Ko tau, pas waktu bapa pu zaman tuh, siapa yang pu motor de yang paling keren dan gagah, Jadinya disukai banyak cewe. Oleh karena itu, bapa sampe tra pikir Panjang, tanpa sadar bapa jual tanah buat terlihat keren dan gagah seperti bapa pu teman-teman “. Dan ketika mendengar ungkapan ayahnya itu, Alfons Nampak mulai tenang, namun raut wajahnya masih tetap Nampak kesal dan sedih, “ bapa, tapi ko tau toh, sekarang sa bingun, sa mo buat rumah dimana….?, bapa nanti kalau sa su pu anak dan sa pu anak tanya kita pu tanah dimana maka sa kastau apa sama sa pu anak ”, ucap alfons dengan sungguh-sungguh.


                 Lalu suasana pun menjadi sunyi, Alfons yang kini sudah dalam keadaan duduk di sisi lain, terlihat raut wajahnya masih sedih, sedangkan bapanya masih tetap di posisinya yang tadi dan juga rokoknya yang tadi sempat ia pasang Nampak sudah tersisa setengahnya saja. “ Alfons, bapa pun sangat menyesal sekali. Bapa tra pernah pikir akan begini, bapa pu tanah sekarang Cuma halaman rumah depan itu saja, dan bapa juga hanya punya rumah ini, lalu bapa pu motor yang bapa beli pake uang tanah itu juga sudah rusak, jadi kalau ko mau, ko bikin rumah didepan situ saja, lalu bila bapa sudah mati nanti ko ambil rumah ini jua “, ucap lelaki itu dengan penuh penyesalan.

                Setelah kejadian malam itu, Alfons benar-benar merasa bahwa tanah adalah unsur terpenting dalam kelansungan hidup manusia, Alfons merasakan betul pahitnya tidak mempunyai tanah, bahkan kadang sebuah pertanyaan menghantuinya (Sekarang sa tra pu tanah, dan nanti sa pu anak-anak bagaimana…?, dong nanti bikin rumah dimana…?, sa pu anak-anak pasti jadi orang asing di dong pu tanah. Sa pu anak-anak pasti menderita, sa pu anak-anak pasti di pinggirkan dan lainnya), dan pikiran itulah yang terus saja meresahkannya.


                 Semenjak itu, Alfons sudah sangat membenci perbuatan menjual tanah, bahkan sering kali dia bercerita kepada kawan-kawannya supaya jangan sekali-kali menjual tanah.

***

bandung, 23/01/2019