Rabu, 23 Januari 2019

Cerpen : Pak Tentara Jang Pukul Sa Pu Bapa






   Kejadian itu terus saja mengiris hati Alfin, kadang ketika bertemu orang-orang yang bersenjata maka amarah dan dendam selalu menekannya. Kejadian itu memang terjadi ketika dia masih kecil, namun entah kenapa, kejadian itu seperti jarum yang menekannya, apa lagi ketika bertemu dengan mereka yang berseragam loreng, ya mereka itulah yang dahulu ketika alfin kecil sempat memukuli BaPanya.

               Sore itu, Alfin yang masih berusia sepuluh tahun merengek hendak ikut bapa ke pasar, kebetulan pula saat itu mamanya Alfin sedang dalam keadaan sakit sehingga terpaksa sore itu bapa harus ke pasar untuk membeli sayur. Alfin masih saja merengek bahkan menangis sambil berteriak-teriak “ Bapa, sa tra mau tau, kali ni sa pokoknya mo ikut bapa ke pasar “, katanya sambil memegang tangan bapanya dengan sangat erat, takut bila ditinggal pergi.

               Karena Alfin yang masih saja menangis dan tetap bersikeras ikut walau dibujuk berulang-ulang membuat bapanya iba, pada akhirnya bapanya alfin mengajak alfin ke pasar berdua.

                Sepanjang jalan, Alfin terus saja diam, entah apa yang dipikirkan anak kecil itu. Bapanya yang menyadari bahwa alfin yang biasanya cerewet itu tidak mengeluarkan sepatah kata pun sepanjang jalan akhirnya menegur alfin “ Fin, ko kenapa diam, tra seperti biasanya, kan kalo biasanya ko paling cerewet, mo ko dijalan, mo ko dirumah, ko pu mulut tra pernah istrahat ”. lalu mendengar teguran bapa, Alfin berhenti sesaat, kemudian memandang bapanya, “ Bapa, sa Cuma heran, bapa tra lihatkah, kan jam begini, biasanya banyak orang baru, hari ini trada orang yang katong dua ketemu tuh ”. ucapan Alfin tersebut otomatis menyadarkan bapa bahwa memang hari ini agak Nampak aneh.

              Akan tetapi, bapa alfin yang sempat dibuat diam, dan tenggelam dalam lamunan oleh ucapan alfin tadi kembali menujukan wajah cerianya, “ Bapa jua heran, tapi tra usah pikir orang-orang yang hari ini tra Nampak seorang pun, sekarang katong dua cepat-cepat beli sayur di pasar baru pulang masak, ko tra kasihan ko mama yang sedang sakit ”, ucapnya sambil mempercepat langka kakinya.

              Lalu alfin dan bapanya pada akhirnya sampai juga di pasar. Namun di pasar pun Nampak aneh, tidak ada satu pun laki-laki yang Nampak, yang ada hanya mama-mama yang sedang mengatur jualannya, ada yang lagi beli dan ada juga yang lagi jual, kemudian ada pula yang sedang membereskan jualannya karena hendak pulang, ada juga yang baru menyiapkan jualannya diatas tikar tipis yang dibawah dari rumah. Memang kondisi pasar mama-mama itu tidak layak di sebut pasar, hal ini karena mama-mama jualan diatas tanah dengan berbekal tikar tipis. “ Mama, sayur bayam tuh berapa….?”, ucap bapa alfin kepada sala seorang perempuan tua yang saat itu berada di belakang tikar yang diatasnya sudah ada sayuran bayam, “ Oh itu, satu ikat dua ribu…!”, ucap perempuan tua itu membalas ucapan bapa alfin. “ dua ikat eee…, mama…”, ucap bapa alfin sambil memberikan uang selembaran lima ribu, kemudian perempuan tua itu menyerahkan dua ikat sayur bayam beserta uang kembali seribu rupiah.

             Setelah selesai membeli sayur, kedua bapa dan anak itu kemudian membeli beberapa bumbu serta tahu, lalu setelah itu keduanya melangkakan kaki hendak keluar dari pasar, hingga tepat ketika tiba di jembatan kecil yang menjadi pembatas antara jalan umum dan pasar, tiba-tiba dari arah depan datanglah tiga orang pria berseragam loreng yang sangat lengkap dengan senjata laras Panjang menghadang mereka. Tanpa mengucap apapun, seorang dari ketiga orang itu mendekati bapa alfin, kemudian tiba-tiba lelaki berpakaian loreng itu mengayungkan tangannya mengarah di depan jidat kepala hingga semenit kemudian tubuh bapa alfin sudah mendarat mencium tanah, “ Pak Tentara jang pukul sa bapa “, ucapan yang sontak keluar dari mulut mungil milik Alfin. Namun ucapan alfin seakan hanya angin belaka, tidak ada respon atau jawaban apapun, sebaliknya ayah alfin yang posisinya sudah melintang di tanah itu pun menerima dua tendangan lagi, tendangan yang benar-benar menyakitkan sebab kaki itu dibungkus rapih oleh sepatu laras.

            Darah segar menetes mengalir membasahi muka. Kondisi bapa alfin pun Nampak sangat menyedihkan, pakaian sudah sangat kotor bercampur darah dan tanah. Akan tetapi kondisi bapak alfin yang menyedihkan itu tidak mengurangi pukulan dan tentangan yang dilakukan oleh tiga pria berpakaian loreng itu, hampir sekitar belasan pukulan dan tendangan yang sudah bersarang di seluruh tubuh bapa alfin.

            Usai setengah jam kemudian datanglah sosok lelaki tua beramput putih. Lelaki tua itu bukan lain adalah Pak kepala  distrik, “ Kenapa kalian memukuli dia, ayo cepat berhenti ”, ucap pak kepala distrik kepada ketiga pria berbaju loreng itu. Ucapan pak kepala distrik itu sontak membuat ketiga pria berbaju loreng itu berhenti memukuli bapa alfin. “ Sore pak kepala distrik, kami bertiga memukulinya karena dia adalah separatis, seorang anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM)”, ucap salah seorang dari ketiga pria berbaju loreng itu.

           Bapa alfin yang masih melintang diatas tanah itu, pelan-pelan dibantu untuk duduk oleh pak kepala distrik, kemudian setelah posisi bapa alfin sudah terduduk maka pak kepala distrik membiarkannya untuk menormalkan kesadarannya. “ Apa…?, tadi kalian bertiga bilang dia separatis dan seorang anggota OPM, Apa kalian tidak salah…!. Kalian ini tidak tahu ya, Bapa Moses ini adalah seorang guru sekolah dasar di kampung Diyoudimi yang merupakan salah satu kampung di distrik kita ini, dan memang bapa moses ini jarang kelihatan disini karena waktunya banyak dihabiskan untuk mengajar disana, kemudian dia sekarang bisa ada disini karena kondisi istrinya yang tinggal di ibu kota distrik sedang dalam keadaan sakit “, kata pak kepala distrik dengan nada yang agak kesal bercampur kecewa terhadap perbuatan yang dilakukan oleh tiga pria berbaju loreng yang saat itu kondisinya masih berdiri tak jauh dari pak moses, bapanya alfin. “ Tapi pak kepala distrik, hal ini terjadi karena penampilan pak moses itu ”, ucap salah seorang dari ketiga pria itu dengan wajah gugup.

               Pak kepala distrik yang agak Nampak masih kesal itu menghembuskan nafas yang sangat berat, kemudian lanjutnya “ Kalian bertiga ini bisa bedakan orang atau tidak, lalu sebelum mengambil tindakan cobalah untuk bertanya dulu, jangan main tangan lansung, kalian bertiga ini seperti preman saja. Dan bapa yakin, kalian tadi memukulinya serta menuduhnya sebagai seorang separatis atau anggota OPM karena melihat  rambutnya  yang gimbal sebatas pantat, lalu ditambah jenggot dan kumisnya yang lebat ”. Kemudian setelah mendengar penuturan pak kepala distrik yang memang tepat sekali membuat ketiga pria itu Nampak makin gugup hingga tidak ada kata-kata yang keluar dari balik bibir.

                Alfin yang tadinya menangis tanpa henti melihat bapanya dipukuli dan ditendang, kini sudah berhenti menangis dan berada disamping bapanya mendengar semua itu dengan jelas, bahkan wajah dan pakaian ketiga orang yang memukuli bapanya juga diingat dengan sangat jelas. Kebencian dan amarah sudah menguasai diri gadis kecil itu.
                Setelah mendengar penuturan pak kepala distrik yang memang benar adanya serta tidak bisa dibantah. Ketiga pria itu perlahan-lahan pamitan kepada pak distrik, lalu pergi dari tempat itu tanpa meminta maaf sedikit pun, bahkan menoleh pun tidak.

                  Melihat ketiga pria itu sudah berlalu, Pak kepala distrik akhirnya membantu pak moses berdiri, setelah pak moses berdiri, dengan perlahan pak kepala distrik membantunya berjalan dan mengantar pak moses hingga sampai dirumah.

              Ingatan tentang kejadian itulah yang membuat Alfin sangat membenci orang-orang yang berpakaian loreng, bahkan kepada orang-orang yang bersenjata, walau saat ini alfin sudah berusia dua puluhan lebih tahun dan sudah menjadi salah seorang mahasiswa di salah universitas yang ada ditanah jawa.

***





Bandung, 23/01/2019

5 komentar:

  1. Kom, cerpennya sangat berarti bagiku maka itu terjadi di mapia terhadap ayamu kah apa. Namun kejadiannya sekitar tahun berapa kalau saya boleh tau...?

    BalasHapus
  2. Kom, cerpennya sangat berarti bagiku maka itu terjadi di mapia terhadap ayamu kah apa. Namun kejadiannya sekitar tahun berapa kalau saya boleh tau...?

    BalasHapus
  3. Ya cukup menarik untuk di baca ...

    BalasHapus