Sabtu, 14 Januari 2017

Pedagang Dari Nabire


Lonceng pulang akhirnya berbunyi. Rasanya lelah sekali, mulai dari pagi jam 07 : 00 WIT, hingga kini tepat pukul 02 : 30 WIT. Aku hanya duduk bersandar di bangku yang sama terus-menerus selama menerima amukan-amukan Guru-Guru yang mengajar tanpa  satu pun materi yang sempat masuk ke dalam wadah yang sempat ku persiapkan sebelum datang ke sekolah. Rasanya tulangku remuk. Namun aku bersyukur, kini aku telah terbebas dari siksaan yang panjang.

Kami akhirnya apel pulang. Mulai dari Kepala Sekolah hingga Tukang babat sekolah menyampaikan arahan-arahan kepada kami. Semua arahan itu satupun tak ku dengarkan. Semuanya seakan hanya angin belaka.

Dalam benakku hanya kata pulang yang menyerangku. Aku tak peduli entah apa yang menghadang, seberapa jaraknya, aku benar-benar tak peduli semua itu.  Dari puncak gunung terlihat jelas Rumah dimana kini aku harus Pulang. Tadi sewaktu aku menuju kesini, semangatku berapi api, Namun kini Disana semua harapanku berdiam. Andai aku bisa terbang, mungkin sedari tadi aku telah menyandarkan Tubuhku di dalam Rumah itu.

Lalu semua arahan yang Guru-guru sampaikan kepada kami akhirnya usai, sungguh hal yang paling membosankan bagiku. kini dengan langkah layu, aku dan kawanku yang sering di sapa Ipex menuruni bukit yang sering di sebut orang-orang sebagai Bukit Rindu. Lalu kami akhirnya tiba di depan pasar. Tiba-tiba kakiku terhenti, pandangan mataku mengarah ke seorang lelaki Muda. Setelah ku tafsirkan, dia adalah orang sulawesi tepatnya. Lelaki itu menurunkan sebuah karung yang di gantung di pojok belakang sepeda Motor, Lalu dari arah kios yang di bangun bersebelahan dengan pasar, keluarlah orang-orang yang berkulit putih, mirip dengan lelaki sulawesi tadi. Yang membuatku tertarik adalah beberapa orang di antaranya yang mengenakan pakaian dinas. Orang - orang yang mengenakan pakaian dinas tadi kelihatannya sedang berebut sesuatu di balik karung yang di bawah lelaki sulawesi itu. Karena penasaran aku mengajak Ipex mendekati Kerumunan orang-orang tadi. setelah sampai di sana, aku kaget bukan main. Ternyata yang di perebutkan orang-orang tadi adalah sayur-mayur. sungguh aku jadi bingun tambah bimbang. Lalu yang aku tak habis pikir adalah beberapa orang yang mengenakan pakain dinas itu. Melihat dari kulit mereka, kulit mereka hitam. Sungguh keningku di keroyok habis-habisan oleh seribu macam pertanyaan.

Karena bingun hendak mau buat apa, akhirnya aku bertanya kepada lelaki sulawesi tadi. dari mana semua sayur mayur ini kau bawah. Lalu dengan nada tenang di menjawab " semua ini aku bawah dari Nabire ", sungguh jawabannya singkat namun sangat menyakitkan untuk gendang telingaku.

Lalu dengan perlahan ku menengok ibu-ibu yang sedang menderita akibat amarah raja siang. mereka nampak lesuh, di benak mereka terlintas harapan-harapan yang sangat dalam. Di depan mereka setumpuk sayur mayur yang nampak layu berdiam sambil sesekali mengejek Ibu-ibu itu. Dari pagi sempat ku lihat mereka duduk seperti itu. Bergeser sedikitpun Tidak. Jualan mereka pun masih utuh. raut wajah mereka yang tua membuat hatiku terkikis betul. apa bedanya mereka dengan lelaki sulawesi yang baru saja tiba dari Nabire, Lelaki sulawesi itu menjual sayur mayur dan ibu-ibu itu pun menjual sayur-mayur. Dari segi jenis tidaklah berbeda. Ibu-ibu itu menjual sayur bayam, terong, sayur hitam, tomat, rica, sayur kol, sayur japan. dan sayur mayur lainnya, dan itu pula yang di jual lelaki sulawesi itu. Namun mengapa yang baru saja tiba, serta dari jauh datangnya semua sayur mayur milik lelaki sulawesi itu yang menjadi sasaran para pembeli itu. Sedangkan mama-mama itu hanya di jadikan tontonan semata.


ilustrasi


Air mataku sejak tadi tenyata telah mencapai pipihku. Sedih rasanya menyaksikan semua itu, mereka adalah Mama-mamaku, mereka yang membesarkanku, mereka yang menyekolahkanku. Karena mereka pula para kulit putih ada, karena mereka pula Para sekelompok berpakaian dinas itu hadir. Lalu mengapa mereka di Abaikan. Mereka itu orang tua kita. Mereka bukan pemain drama. Hingga cukup melihat tanpa memberi reaksi.

Menyaksikan semua itu membuat kepalaku mendidih. Aku tak kuasa melihat semua itu, akhir aku lansung mengajak Ipex pulang. Berpulang ke rumah.


******

@



lengkong kecil, bandung 15/01/2017


1 komentar: